Akhir-akhir ini nama Agus begitu terkenal dan bahkan bisa jadi menjadi inspirasi. Hal itu tidak lepas dari iklan salah satu operator telepon seluler. Simaklah perbincangan dalam iklan tersebut:
"Hallo!" teriak seseorang di sebuah wilayah Indonesia.
"Siapa nak cakap ini?" tanya seorang wanita yang berkantor di menara kembar Petronas, simbol bangunan negeri jiran.
"Agus..oaalaah Agus…Aguss!"jawab orang tersebut yang ternyata bernama Agus
Di akhir iklan, diperlihatkan telpon di dalam ruang oval, sebuah ruang di dalam Gedung Putih, berdering yang juga diakibatkan oleh ulah si Agus.
Iklan tersebut ingin menunjukkan bahwa operator telepon selulat tersebut menawarkan harga/pulsa yang murah bagi penggunanya yang ingin menelepon ke luar negeri. Keisengan Agus untuk menelepon semua pihak di berbagai belahan Negara, bahkan hingga menelepon seorang presiden Negara adidaya, yang ditunjukkan dengan adanya simbol-simbol bangunan Negara lain yang sangat dikenal masyarakat internasional, merupakan pesan bahwa operator tersebut benar-benar memiliki keistimewaan dalam layanan telepon ke luar negeri.
Pada sisi lain, iklan tersebut juga telah melambungkan nama Agus, yang bahkan melebihi nama Susilo, Bambang, Yudhoyono, Tukul, Luna Maya, dan nama-nama yang lain di republic ini. Tak pelak, akibat iklan itu siapapun yang bernama Agus dalam beberapa waktu ini bisa jadi akan jadi "olokan" kolega-koleganya, tetangganya, saudaranya, dan bahkan mungkin anak-anaknya. Dan kebetulan tetangga saya ada dua orang yang bernama Agus, dan mereka pun tidak luput dari "olok-olok" iklan Agus tersebut. Ooalah Agus..Agus.
Yang lebih menggelikan lagi adalah ketenaran iklan Agus tersebut telah menginspirasi seorang caleg di wilayah Malang, yang kebetulan juga bernama Agus, untuk menggunakan model iklan calegnya dengan model iklan yang sama. Sepanjang menuju perumahan jalan-jalan penuh dengan wajah Agus si caleg dengan tulisan di bawah wajahnya: Ooalah Agus..Agus. Klop sudah.
Saya yakin jika pembuat iklan caleg Pak Agus tersebut bukanlah dari pakar periklanan yang beken. Tim sukses caleg ini, saya yakin lagi, tentu saja menerapkan ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) atas ketenaran iklan operator telepon selular tersebut dalam menciptakan iklan politik untuk Pak Agus ini. Dengan mendompleng ketenaran Agus tersebut tentunya tim sukses Caleg Pak Agus juga berharap akan juga dikenal oleh konstituennya. Awareness tentang nama Agus dianggap telah muncul di kalangan masyarakat dengan adanya iklan operator telepon selular tersebut. Hingga tim sukses Caleg Pak Agus tersebut beranggapan dengan memodifikasi iklan telepon selular tersebut dengan "kearifan local" maka iklan politik yang mereka buat akan berkelas televisi (nasional) namun membumi di tingkatan lokal. Mungkin begitulah kira-kira yang ada di otak tim sukses Pak Agus "Caleg" ini.
Iklan merupakan salah satu ujung tombak bagi produk yang dari waktu ke waktu makin penting keberadaannya. Penetrasi pasar akan menjadi lebih efektif dilakukan bila dibantu oleh adanya iklan. Melesatnya peran teknologi dan informasi, utamanya ditandai dengan berkembangnya teknologi televisi, semakin memudahkan iklan dalam melakukan penetrasi. Iklan tidak lagi hanya bermuatan pesan-pesan produk, akan tetapi telah bermuatan berbagai simbol ataupun kode. Berbagai simbol dan kode tersebut disisipkan ke dalam iklan dalam upaya lebih menghidupkan nilai iklan itu sendiri. Kesadaran-kesadaran palsu disematkan dalam iklan agar konsumen bisa terbuai oleh agitasi iklan. Iklan telah menjadi simulacra yang membuncah dalam pola pikir konsumen. Kesemuan nilai produk telah dianggap sebagai realitas dengan adanya teknologi informasi yang mampu mensimulasikan kesemuan tersebut. Realitas kesemuan kemudian menjadi realitas yang melebihi realitas itu sendiri. Dalam kasus iklan Agus tersebut tentu saja susah dilogikakan bagaimana bisa seorang Agus dengan mudahnya menerobos benteng pertahanan Gedung Putih hingga dia bisa menghubungi Tuan Bush. Adegan tersebut tentu saja merupakan sebuah simbol semata sebagai pintu masuk untuk menyampaikan pesan betapa operator telepon selular tersebut mampu memberikan pelayanan telepon antar Negara dengan murah dan mudah, semudah menelepon Tuan Bush di Negeri Paman Sam. Iklan di era teknologi ini memang selalu identik dengan rekayasa-rekayasa realitas. Rekayasa-rekayasa itulah yang justru dinikmati oleh pemirsa sekaligus sebagai konsumen meski mereka tak harus membeli produk dengan iklan rekayasa tersebut. Media massa sebagai media iklan pun memberikan ruang yang selebar-selebarnya untuk "pertunjukan" rekayasa realitas tersebut. Maka, sebagaimana diungkapkan Umberto Eco, selamat bertamasya di dunia hiperrealitas!
"Hallo!" teriak seseorang di sebuah wilayah Indonesia.
"Siapa nak cakap ini?" tanya seorang wanita yang berkantor di menara kembar Petronas, simbol bangunan negeri jiran.
"Agus..oaalaah Agus…Aguss!"jawab orang tersebut yang ternyata bernama Agus
Di akhir iklan, diperlihatkan telpon di dalam ruang oval, sebuah ruang di dalam Gedung Putih, berdering yang juga diakibatkan oleh ulah si Agus.
Iklan tersebut ingin menunjukkan bahwa operator telepon selulat tersebut menawarkan harga/pulsa yang murah bagi penggunanya yang ingin menelepon ke luar negeri. Keisengan Agus untuk menelepon semua pihak di berbagai belahan Negara, bahkan hingga menelepon seorang presiden Negara adidaya, yang ditunjukkan dengan adanya simbol-simbol bangunan Negara lain yang sangat dikenal masyarakat internasional, merupakan pesan bahwa operator tersebut benar-benar memiliki keistimewaan dalam layanan telepon ke luar negeri.
Pada sisi lain, iklan tersebut juga telah melambungkan nama Agus, yang bahkan melebihi nama Susilo, Bambang, Yudhoyono, Tukul, Luna Maya, dan nama-nama yang lain di republic ini. Tak pelak, akibat iklan itu siapapun yang bernama Agus dalam beberapa waktu ini bisa jadi akan jadi "olokan" kolega-koleganya, tetangganya, saudaranya, dan bahkan mungkin anak-anaknya. Dan kebetulan tetangga saya ada dua orang yang bernama Agus, dan mereka pun tidak luput dari "olok-olok" iklan Agus tersebut. Ooalah Agus..Agus.
Yang lebih menggelikan lagi adalah ketenaran iklan Agus tersebut telah menginspirasi seorang caleg di wilayah Malang, yang kebetulan juga bernama Agus, untuk menggunakan model iklan calegnya dengan model iklan yang sama. Sepanjang menuju perumahan jalan-jalan penuh dengan wajah Agus si caleg dengan tulisan di bawah wajahnya: Ooalah Agus..Agus. Klop sudah.
Saya yakin jika pembuat iklan caleg Pak Agus tersebut bukanlah dari pakar periklanan yang beken. Tim sukses caleg ini, saya yakin lagi, tentu saja menerapkan ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) atas ketenaran iklan operator telepon selular tersebut dalam menciptakan iklan politik untuk Pak Agus ini. Dengan mendompleng ketenaran Agus tersebut tentunya tim sukses Caleg Pak Agus juga berharap akan juga dikenal oleh konstituennya. Awareness tentang nama Agus dianggap telah muncul di kalangan masyarakat dengan adanya iklan operator telepon selular tersebut. Hingga tim sukses Caleg Pak Agus tersebut beranggapan dengan memodifikasi iklan telepon selular tersebut dengan "kearifan local" maka iklan politik yang mereka buat akan berkelas televisi (nasional) namun membumi di tingkatan lokal. Mungkin begitulah kira-kira yang ada di otak tim sukses Pak Agus "Caleg" ini.
Iklan merupakan salah satu ujung tombak bagi produk yang dari waktu ke waktu makin penting keberadaannya. Penetrasi pasar akan menjadi lebih efektif dilakukan bila dibantu oleh adanya iklan. Melesatnya peran teknologi dan informasi, utamanya ditandai dengan berkembangnya teknologi televisi, semakin memudahkan iklan dalam melakukan penetrasi. Iklan tidak lagi hanya bermuatan pesan-pesan produk, akan tetapi telah bermuatan berbagai simbol ataupun kode. Berbagai simbol dan kode tersebut disisipkan ke dalam iklan dalam upaya lebih menghidupkan nilai iklan itu sendiri. Kesadaran-kesadaran palsu disematkan dalam iklan agar konsumen bisa terbuai oleh agitasi iklan. Iklan telah menjadi simulacra yang membuncah dalam pola pikir konsumen. Kesemuan nilai produk telah dianggap sebagai realitas dengan adanya teknologi informasi yang mampu mensimulasikan kesemuan tersebut. Realitas kesemuan kemudian menjadi realitas yang melebihi realitas itu sendiri. Dalam kasus iklan Agus tersebut tentu saja susah dilogikakan bagaimana bisa seorang Agus dengan mudahnya menerobos benteng pertahanan Gedung Putih hingga dia bisa menghubungi Tuan Bush. Adegan tersebut tentu saja merupakan sebuah simbol semata sebagai pintu masuk untuk menyampaikan pesan betapa operator telepon selular tersebut mampu memberikan pelayanan telepon antar Negara dengan murah dan mudah, semudah menelepon Tuan Bush di Negeri Paman Sam. Iklan di era teknologi ini memang selalu identik dengan rekayasa-rekayasa realitas. Rekayasa-rekayasa itulah yang justru dinikmati oleh pemirsa sekaligus sebagai konsumen meski mereka tak harus membeli produk dengan iklan rekayasa tersebut. Media massa sebagai media iklan pun memberikan ruang yang selebar-selebarnya untuk "pertunjukan" rekayasa realitas tersebut. Maka, sebagaimana diungkapkan Umberto Eco, selamat bertamasya di dunia hiperrealitas!