Setelah mewajibkan 68 produk untuk memenuhi Standar Nasional Industri (SNI), kali ini Kementerian Perindustrian berencana menerapkan terhadap 21 produk pada tahun 2011 hingga 2012. Salah satu harapan Kementerian Perindustrian dengan adanya penerapan SNI pada 21 produk tersebut adalah konsumen tidak lagi dirugikan oleh produk-produk yang tidak layak digunakan karena dianggap belum memenuhi SNI. Sayangnya, rencana tersebut ditolak oleh beberapa pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang memproduksi produk-produk yang termasuk dalam kategori 21 produk wajib SNI. Beragam alasan diungkapkan oleh pelaku UMKM terkait dengan penolakan mereka atas rencana Kementerian Perindustrian untuk mewajibkan 21 produk memenuhi SNI. Beberapa alasan utama yang dikemukakan oleh pelaku UMKM terhadap penerapan SNI pada dasarnya tidak jauh dari permasalahan utama yang selama ini menjerat sektor UMKM. Persoalan permodalan, inovasi, maupun birokrasi merupakan beberapa alasan yang menjadi dasar penolakan pelaku UMKM untuk menerapkan SNI pada produk-produk mereka.
Bila diurai lebih lanjut, kita bisa memahami ide dasar Kementerian Perindustrin untuk mewajibkan 21 produk memenuhi SNI. Malah, selain untuk memenuhi hak-hak konsumen sebenarnya ide wajib SNI memiliki benang merah terhadap persoalan daya saing UMKM selama ini. Sudah menjadi pengetahuan umum bila produk-produk UMKM tidak sedikit yang belum memenuhi standar kualitas yang diharapkan pasar. Kurang mampunya produk UMKM untuk memenuhi kualitas yang diharapkan tidak lepas dari lemahnya daya inovasi para pelaku UMKM. Tidak sedikit produk-produk yang diproduksi oleh UMKM hanya sebatas untuk memenuhi target produksi mereka saja. Produk yang pelaku UMKM produksi hanya sekedar rutinitas untuk menjalankan aktivitas produksi semata. Sensitifitas pelaku UMKM terhadap tren pasar pada gilirannya menjadi rendah. Ujung dari persoalan inovasi ini tentu saja adalah kurangnya nilai daya saing produk-produk UMKM di pasar. Cukup wajar jika kemudian para pelaku UMKM menjadi kelabakan ketika produk-produk sejenis yang lebih inovatif dari luar negeri, Cina misalnya, membanjiri pasar dalam negeri. Situasi tersebut semakin diperburuk dengan belum menggeliatnya gerakan mencintai produk-produk dalam negeri.
Pada sisi lain, keluhan para pelaku UMKM yang menolak atas penerapan kebijakan wajib SNI tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pemerintah. Pemerintah tidak boleh berprinsip “anjing menggonggong kafilah berlalu.” Pemerintah tidak bisa menutup telinga atas alasan pelaku UMKM untuk menolak penerapan wajib SNI bagi 21 produk. Artinya, pemerintah harus ikut berupaya memberikan solusi permasalahan pelaku UMKM agar kebijakan wajib SNI dapat dipenuhi oleh para pelaku UMKM. Upaya tersebut diperlukan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah atas kebijakan yang dibuatnya.
Permasalahan lemahnya inovasi yang dihadapi oleh pelaku UMKM merupakan persoalan UMKM yang berkaitan erat pula dengan permasalahan permodalan. Bisa jadi rasa frustasi selalu menghampiri pelaku UMKM ketika mereka dihadapkan dengan permasalahan lemahnya akses permodalan. Lembaga-lembaga keuangan selama ini cenderung “elergi” bila berhadapan dengan pelaku UMKM. Sementara program-program pemerintah yang terkait dengan pemecahan masalah permodalan UMKM tidak sedikit yang bersifat karikatif. Padahal, untuk bisa mengembangkan produk-produk yang inovatif para pelaku UMKM memerlukan modal yang tidak sedikit.
Hal lain yang juga dianggap menjadi “bahaya” laten bagi pengembangan UMKM adalah terkait dengan rumitnya birokrasi. Sudah jamak diketahui bila penyebab kurang kompetitifnya produk UMKM dikarenakan adanya komponen biaya transaksi yang harus ditanggung pelaku UMKM. Masih panjangnya “meja” yang harus dilewati oleh para pelaku UMKM untuk mengurus perizinan menjadi salah satu biaya transaksi yang selama ini juga dikeluhkan oleh para pelaku UMKM. Tidak sedikit para pelaku UMKM yang disuguhi bagan alur birokrasi perizinan yang efisien namun secara de facto mereka tetap harus berjibaku untuk mendapatkan izin. Singkatnya, permasalahan birokrasi ikut menyumbang “kemalasan” para pelaku UMKM untuk berkembang.
Stimulus Pengembangan UMKM
Meski demikian, sekali lagi, rencana kebijakan wajib SNI bagi 21 produk oleh Kementerian Perindustrian sepatutnya diapresiasi secara positif. Pemerintah dan pelaku UMKM dalam upaya untuk pengembangan UMKM mesti saling menopang. Kebijakan wajib SNI ini bisa dijadikan stimulus baik oleh pemerintah sendiri maupun bagi pelaku UMKM untuk memperbaiki kondisi UMKM menjadi lebih baik, dan bukan sebaliknya. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan memiliki kewajiban untuk berperan aktif membantu UMKM agar mampu melaksanakan kebijakan yang ditelurkan. Beberapa hambatan yang dialami oleh UMKM untuk melaksanakan wajib SNI perlu ada campur tangan pemerintah untuk mereduksinya.
Sementara bagi UMKM adanya kebijakan wajib SNI semestinya ikut “menyadarkan” para pelaku UMKM betapa produk-produk UMKM masih harus ditingkatkan daya saingnya. Masih ada banyak hal yang perlu diperbaiki dalam upaya memperbaiki daya saing UMKM. Belum lagi bila hal tersebut dikaitkan dengan berbagai kerjasama perdagangan yang digagas oleh kelompok-kelompok negara, baik itu WTO, AFTA, dan yang terbaru adalah ACFTA. Kerjasama-kerjasama tersebut jelas menekankan direduksinya halangan-halangan bagi negara lain untuk mengekspor produk-produknya ke negara-negara anggota kelompok kerjasama. Kondisi tersebut tentu saja akan semakin meningkatkan persaingan produk-produk.yang beredar di pasar dalam negeri sehingga menuntut produk yang berdaya saing secara memadai. Oleh karena itu, pelaku UMKM seyogyanya menyikapi rencana kebijakan wajib SNI tersebut secara positif untuk pengembangan kinerja daya saing UMKM. Kita tentu berharap bahwa kebijakan wajib SNI tersebut akan berdampak pada kecintaan masyarakat akan produk-produk dalam negeri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar