SBY gerah dengan demo yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat yang kecewa dengan kinerja SBY beserta jajarannya. Demonstrasi tersebut merupakan bagian dari kegiatan menandai 100 hari pemerintahan SBY-Budiono. Kegerahan presiden dipicu oleh digunakannya kerbau sebagai simbol sosok SBY. Hal itu bisa dilihat dari penempelan foto SBY yang dilekatkan pada tubuh kerbau yang diajak demo oleh para demonstran. Tidak hanya itu, tubuh kerbau pun juga diberi tulisan “Si BuaYa” sebagai penyamaran inisial SBY. Para demonstran ini menyimbolkan kerbau sebagai binatang yang malas dan lambat. Identifikasi atas diri kerbau itulah yang kemudian dialamatkan oleh para demonstran dengan menyematkan foto SBY di tubuh kerbau. Bagi para demonstran kelambatan dan kemalasan dijadikan sebagai biang atas kegagalan pemerintahan SBY dalam 100 hari kerja.
Perilaku para demonstran dengan menjadikan kerbau sebagai perwujudan kinerja SBY tentu saja “memerahkan” mata SBY, tidak hanya telinga saja yang merah. Para pendemo dianggap SBY tidak memiliki etika. Para pendemo menurut SBY telah mengabaikan nilai-nilai kepantasan dan tidak mencerminkan budaya Indonesia.
Aksi pendemo dan juga reaksi SBY atas aksi pendemo merupakan perwujudan manusia sebagai animal simbolicum. Interaksi antar manusia dalam suatu masyarakat pada dasarnya ditopang oleh simbol-simbol. Simbol sendiri diartikan sebagai segala sesuatu (benda, peristiwa, kelakuan, tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempati suatu arti tertentu menurut kebudayaannya. Interpretasi atas makna suatu simbol oleh individu ataupun masyarakat memiliki keragaman tersendiri. Factor internal serta eksternal menjadi hal yang sedikit banyak berperan atas interpratasi atas sebuah simbol.
Dalam sejarah kehidupan manusia, baik sebagai bagian dari suatu bangsa ataupun sebagai umat beragama, perilaku manusia “dikendalikan” oleh simbol-simbol. Kita bisa melihat betapa berbagai suku bangsa di muka bumi ini memiliki simbol-simbol tersendiri dalam kehidupan mereka. Simbol ibu jari di beberapa wilayah memiliki arti yang baik dan di beberapa wilayah lain memiliki arti yang sebaliknya. Di dalam agama Islam pun kita juga melihat begitu banyak aktivitas-aktivitas simbolik yang menyertai dalam kegiatan ibadah haji. Salah satu dari kegiatan simbolis tersebut adalah ritual jumrah, yaitu kegiatan melempar batu kea rah sebuha tugu yang dianggap sebagai tempat setan. Ritual jumrah ini bila dikaji lebih mendalam tentu tidak sekedar kegiatan melempar batu semata. Banyak lagi contoh-contoh lain yang bisa dijadikan contoh betapa kehidupan sehari-hari manusia penuh dengan warna simbolik. Bahkan yang lebih ekstrem, seringkali fanatisme atas pemaknaan simbol bisa menjadi pemantik munculnya peperangan. Sejarah telah membuktikan itu. Perang salib, perang dunia, genoside, hingga yang “remeh-temeh” yakni perang antar supporter adalah wujud fanatisme manusia atas sebuah simbol.
Interpretasi atas makna suatu simbol akan terus mengalami dinamika pemaknaan seiring dengan perkembangan peradaban manusia sebagai pemakna dan pencipta atas simbol. Kecanggihan pemaknaan atas suatu simbol merupakan pondasi bagi kebudayaan manusia karena simbol merupakan penyokong eksistensi suatu budaya.
2 komentar:
mantap bung..
terima kasih Bung AJ, saya berharap bisa lebih sering menulis di blog,yah hitung2 menghangatkan otak..hehehe,btw saya juga akan sering mengunjungi blog Bung AJ untuk sekedar mendinginkan otak dengan membaca puisi Anda:-)
Posting Komentar