Diantara hiruk-pikuk aktifitas manusia yang berdesing bak gasing maka adanya pameran buku layaknya oase di gurun pasir yang gersang. Pameran buku menawarkan sebuah tamasya intelektual yang meng-adem-kan pikiran. Kita diajak untuk mengunjungi stan-stan dengan berbagai tajuk buku. Memindai satu persatu stan dan bahkan meneliti setiap judul buku untuk memastikan buku yang kita minati. Diskon dihamburkan sebagai pembeda antara pameran buku dan toko buku. Sejenak kita dilupakan adanya lapisan-lapisan sosial semu yang ada dalam masyarakat. Semua membaur dalam peserta ziarah buku, laksana peserta ziarah wali sanga. Batas-batas sosial runtuh oleh The Lost Symbol-nya Dan Brown, Harry Potter-nya J.K. Rowling, Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, Pertengkaran-nya Gogol hingga Lentera Al-Qur’an-nya Quraish Shihab. Semua berdesakan, bersentuhan, berebutan satu sama lain untuk satu buku, dua buku, tiga buku atau bahkan untuk banyak buku. Mereka menanggalkan status sosial, latar belakang pendidikan, latar belakang agama, kendaraan yang mereka pakai, merek sepatu yang mereka pakai, parfum, baju, apapun yang menempel dalam diri mereka. Dalam momen ini hanya buku yang menjadi status sosial mereka. Pamer judul buku yang mereka beli menjadi sebuah ritual dalam setiap pameran buku untuk mempertontonkan status sosial mereka. Buku telah menjadi komodifikasi yang memberikan sumbangan dalam lanskap masyarakat yang beradab menyaingi Hermes, Cristian Dior, Armani, Adidas, Nike, Blackberry, Apple, Ipod.
Pameran buku kemudian menjadi bagian ritual budaya masyarakat untuk memenuhi hasrat aktualisasi diri. Mengunjungi pameran buku pun pada gilirannya menjadi pengisi waktu luang (leisure) bagi kelas-kelas yang merasa terdidik. Ritual ziarah buku layaknya ritual penghabisan waktu di mall-mall yang biasa dilakukan oleh kelompok hedon. Munculnya istilah “lemot” (lemah otak) yang biasa disandangkan pada kelompok hedon memiliki efek domino yang luar biasa atas pemaknaan membeli buku, melihat pameran buku, ataupun mengujungi toko buku. Pameran buku tidak lagi streotip buku kuliah, manusia-manusia berkaca tebal, cewek-cewek tradisional. Sepatu Adidas, kaos Polo, mobil BMW, sabuk Dunhill, celana Levi’s telah menjadi peserta dan penikmat ziarah buku. Berbagai merek fashion kelas atas saling bertindih, saling menyapa dalam sebuah ritual budaya pameran buku. Sekali lagi, pameran buku menjadi oase di tengah pertempuran komodifikasi berbagai komoditas di gurun yang gersang akan nilai-nilai manusiawi.
Pameran buku kemudian menjadi bagian ritual budaya masyarakat untuk memenuhi hasrat aktualisasi diri. Mengunjungi pameran buku pun pada gilirannya menjadi pengisi waktu luang (leisure) bagi kelas-kelas yang merasa terdidik. Ritual ziarah buku layaknya ritual penghabisan waktu di mall-mall yang biasa dilakukan oleh kelompok hedon. Munculnya istilah “lemot” (lemah otak) yang biasa disandangkan pada kelompok hedon memiliki efek domino yang luar biasa atas pemaknaan membeli buku, melihat pameran buku, ataupun mengujungi toko buku. Pameran buku tidak lagi streotip buku kuliah, manusia-manusia berkaca tebal, cewek-cewek tradisional. Sepatu Adidas, kaos Polo, mobil BMW, sabuk Dunhill, celana Levi’s telah menjadi peserta dan penikmat ziarah buku. Berbagai merek fashion kelas atas saling bertindih, saling menyapa dalam sebuah ritual budaya pameran buku. Sekali lagi, pameran buku menjadi oase di tengah pertempuran komodifikasi berbagai komoditas di gurun yang gersang akan nilai-nilai manusiawi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar