Ungkapan apa arti sebuah nama yang disampaikan dramawan kondang yang hidup di jaman Renaissans yakni William Shakespeare mungkin bagi dunia bisnis sudah tidak relevan lagi. Bagi dunia bisnis nama adalah yang sangat penting untuk menunjang kelangsungan bisnisnya. Begitu pentingnya arti sebuah nama baru-baru ini perusahaan raksasa elektronik dari Jepang, Sony Corp. , sampai harus melayangkan somasi kepada seorang blogger Indonesia bernama Sony Arianto Kurniawan gara-gara sang blogger menggunakan domain yang menggunakan nama “Sony” pada situs pribadinya. Situs milik sang blogger yang disomasi perusahaan Sony itu beralamat www.sony-ak.com . Menurut perusahaan Sony penggunaan nam “Sony” oleh sang blogger dianggap telah menyalahi aturan atas Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Perusahaan Sony sebagai sebuah perusahaan yang berkepentingan atas nama tersebut menganggap pemakaian nama “Sony” pada situs sang blogger berpotensi memberikan kerugian, baik materiil maupun non materiil. Penggunaan nama “Sony” pun menurut perusahaan Sony secara hukum telah menjadi haknya sehingga penggunaan nama “Sony” untuk sebuah produk tertentu di luar perusahaan Sony adalah sebuah pelanggaran.
Di pihak lain, sang blogger menganggap apa yang dituduhkan oleh pihak perusahaan Sony tidak berdasar. Menurutnya penggunaan nama “Sony” pada domain yang dimilikinya tidak berpretensi untuk menjatuhkan perusahaan Sony. Penggunaan nama “Sony” menurutnya lebih didasarkan pada nama dirinya sendiri. Situs yang dimilikinya menurut Sony, sang belogger, tidak bergerak pada wilayah komersiil akan tetapi hanya sebatas media informasi yang terkait dengan bidang yang dia tekuni yakni informasi teknologi. Disamping itu menurut sang blogger, situs tersebut hanyalah media tempat untuk menyalurkan kegemaran menulisnya.
Dalam konsep merek nama menjadi sebuah elemen yang penting bagi sebuah produk. Sepenting arti nama bagi orang tua yang ingin memberikan nama bagi anaknya karena nama adalah doa. Tidak heran bila para pemilik perusahaan pun tidak dengan seenaknya memberikan nama bagi perusahaan maupun produk. Bahkan banyak rumor yang beredar di masyarakat bahwa untuk menentukan sebuah nama seorang pengusaha sampai harus mendatangi tokoh agama, dukun, paranormal hingga mencari wangsit di tempat-tempat yang dianggap keramat.
Nama adalah bagian dari merek yang melekat pada sebuah produk yang berperan sebagai pembeda. Dengan adanya nama maka diharapkan produk tersebut dapat dikenal oleh konsumen (masyarakat). Pada titik ini kemudian nama memiliki peran penting dalam memperkuat ekuitas merek sebuah produk. Ekuitas merek sendiri terdiri atas kesadaran merek, asosiasi merek, persepsi merek, serta loyalitas merek. Dengan adanya nama sebagai merek keempat eleman ekuitas merek tersebut akan dapat dicapai. Nama menjadi penghubung pertama bagi sebuah produk pada konsumen. Adigium tak kenal maka tak sayang pun berlaku di sini. Nama adalah sarana perkenalan bagi produk kepada semua pihak. Kesadaran seorang konsumen akan adanya sebuah produk tentu pertama kali tentu karena mengetahui adanya nama sebuah produk. Nama, yang banyak diasosiasikan sebagai merek oleh konsumen, menjadi pemandu bagi konsumen untuk memahami, mengasosiasi, serta mempersepsi sebuah produk yang dikenalnya serta yang akan dibelinya.
Keberhasilan produk dalam memberikan kesadaran, asosiasi, dan persepsi yang positif bagi konsumen yang dimediasi oleh sebuah nama akan memberikan dampak munculnya loyalitas konsumen. Sehingga cukup lumrah jika banyak produk-produk, utamanya yang telah mapan, banyak menghabiskan anggaran pemasarannya hanya untuk membangun citra nama produk. Banyak artis papan atas dikontrak untuk mendongkrak pencitraan nama produk tersebut. Diharapkan citra nama artis tersebut melekat pada citra nama produk yang dibintanginya. Asosiasi nama produk pun di benak konsumen akan semakin kuat dengan adanya nama artis yang melekat sebagai bintang iklan produk. Kita bisa melihat itu salah satunya adalah pada merek sabun Lux. Karena ingin diasosiasikan sebagai merek sabun yang memang benar-benar mewah (lux) maka tidak tanggung-tanggung bintang iklan yang dikontrak Lux adalah artis-artis papan atas Indonesia. Posisi artis bintang iklan Lux ini layaknya posisi gadis Bond dimana hampir semua artis papan atas mengidamkan untuk bisa memperolehnya.
Melihat begitu pentingnya posisi nama bagi sebuah produk maka wajar jika banyak perusahaan besar sampai harus “bertarung” dengan banyak pihak yang “mengusik” namanya meski kadang terlalu berlebihan. Tidak hanya bertarung untuk mempertahankan sebuah nama, perebutan untuk sebuah nama pun juga harus menghabiskan uang yang tidak sedikit. Tengok saja harga sebuah domain bernama insure.com yang dibeli dengan harga yang fantastis, US$ 16 juta (www.dekInet.com).
Perseteruan terkait dengan nama merek bukanlah hal baru di Indonesia. Bila merujuk pada pengalaman masa lalu maka peristiwa perseteruan terkait dengan nama merek sudah sering terjadi. Perseteruan soal merek seringkali dipicu oleh kesamaan nama sebuah merek tertentu. Kebanyakan perseteruan yang terjadi adalah antara perusahaan besar dengan perusahaan menengah ataupun kecil. Perseteruan yang dipicu karena kemiripan nama antara perusahaan Sony dengan blogger bernama Sony merupakan peristiwa yang pernah terjadi sebelumnya meski dengan beberapa perbedaan. Kita tentu masih ingat bagaimana Aqua “bertarung” hebat dengan sebuah perusahaan air minum lain yang dianggap Aqua telah melanggar HaKI dengan pemakaian nama yang mirip dengan Aqua. Belum lagi perusahaan-perusahaan mapan lain, baik lokal maupun global, yang merasa terganggu dengan peggunaan nama yang mirip dengan nama produk-produknya.
Dalam banyak kasus munculnya permasalahan tentang hal-hal yang berkaitan dengan merek, baik itu kemiripan nama, logo, maupun desain lebih karena adanya strategi me too dari perusahaan yang sejenis. Strategi ini biasanya diterapkan oleh perusahaan-perusahaan atau produk-produk yang berada pada level folower (pengikut). Produk-produk yang berada pada level folower ini seringkali menjadikan produk market leader (pemimpin pasar) sebagai acuan dalam menjalankan strategi. Apa pun yang dikembangkan dan dijalankan oleh market leader akan diikuti oleh folower. Banyak alasan kenapa folower mengembangkan strategi me too ini, baik untuk “menyisir” segmen pasar dari market leader ataupun untuk memenuhi “dahaga” segmen pasar yang berkeinginan mengonsumsi produk market leader namun karena ada keterbatasan pada akhirnya tidak bisa mengonsumsinya. Produk-produk dari folower inilah yang kemudian bisa jadi mampu memenuhi ekspektasi dari konsumen ini.
Kalau kita melihat pasar rokok, misalnya, maka dapat ditemukan bejibun merek rokok yang memiliki nama, logo, serta desain yang mirip antara merek rokok produksi rumah tangga dengan merek rokok yang telah mapan. Jika penikmat rokok tidak jeli dalam melihat maka bisa saja tertipu dengan tampilannya yang sangat mirip. Tidak hanya pada produk rokok, produk-produk lain pun sangat banyak yang “mendompleng” ketenaran dari merek-merek yang telah mapan dan banyak dikenal oleh konsumen. Sangat banyak nama-nama merek terkenal yang dipelesetkan oleh produsennya untuk dapat “mencuri” perhatian konsumen. Konsep ATM (amati, tiru, modifikasi) benar-benar menjadi konsep dasar bagi para folower, atau bahkan tidak hanya bagi folower, untuk melakuka penetrasi pasar. Semakin tingginya tingkat persaingan dalam dunia bisnis benar-benar memerlukan tidak hanya sekedar anggaran yang kuat akan tetapi juga daya inovasi yang tinggi. Termasuk dalam hal ini tentu saja inovasi dalam memberikan nama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar