Menyemai Daya Saing Pariwisata Kita

Pemerintah telah secara resmi meluncurkan program Visit Indonesia Year 2008 (VIY 2008). Program VIY 2008 ini diluncurkan juga dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional. Tentu saja banyak asa yang dipikulkan pada program ini terkait dengan kemajuan industri pariwisata di Indonesia. Dimana dengan peluncuran program VIY 2008 jelas pemerintah berharap keunggulan pariwisata Indonesia lebih kenal secara luas oleh masyarakat internasional. Bahkan lebih lanjut, tidak hanya dikenal saja akan tetapi Indonesia akan menjadi tujuan utama liburan bagi para wisatawan dari seluruh pelosok penjuru dunia. Wisataan lokal pun tidak ketinggalan menjadi sasaran program ini. Secara kuantitatif pemerintah sendiri telah menargetkan sebanyak tujuh juta wisatawan asing dan 200 juta wisatawan domestik akan mengunjungi tempat-tempat wisata di berbagai tempat di Indonesia pada tahu 2008. Pada sisi lain dengan adanya program VIY 2008 ini diharapkan berbagai citra negatif yang melekat pada Indonesia dapat secara perlahan mampu diperbaiki.
Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung suksesnya program VIY 2008. Untuk mendukung program VIY 2008 tersebut pemerintah telah menganggarkan dana promosi sebesar Rp 150 miliar. Angka tersebut meningkat sebesar Rp 50 miliar dibandingkan pada tahun 2007 yang hanya Rp 100 miliar. Situs pariwisata pun telah dibangun dengan dana yang cukup fantastis, yaitu mencapai Rp 17,5 miliar. Berbagai pihak juga telah digandeng untuk memperlancar VIY 2008, mulai dari maskapi penerbangan, pengelola hotel, biro-biro perjalanan, dan pihak-pihak lain yang terkait. Dari situ terlihat keseriusan pemerintah dalam upaya menyukseskan program VIY 2008. Namun demikian tetap saja menyisakan satu pertanyaan yang menggelitik, mampukah pariwisata Indonesia bersaing dengan Negara lain?
Dalam beberapa tahun belakangan dapat dikatakan dunia pariwisata Indonesia tengah mengalami masa-masa kelam. Berbagai rentetan peristiwa buruk yang menerpa Indonesia secara langsung telah ikut menyumbat laju industri pariwisata. Peristiwa bom Bali I dan II dapat dikatakan menjadi puncak peristiwa yang menjadikan pariwisata Indonesia luluh lantak. Peristiwa tersebut juga menjadi titik pangkal Negara-negara lain memvonis Indonesia sebagai Negara sarang teroris dan rawan berbagai aksi terorisme. Dan tidak bisa ditawar lagi bahwa isu keamanan seringkali menjadi isu yang menjadi pertimbangan pertama wisatawan berkunjung pada suatu wilayah atau Negara. Sehingga tidak mengherankan apabila kemudian beberapa Negara menerapkan travel warning kepada warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Tentu saja hal itu sangat merugikan dunia pariwisata Indonesia. Belum lagi adanya fenomena “pencurian” aset budaya oleh Negara tetangga dimana aset budaya tersebut telah menjadi salah ciri khas budaya Indonesia.
Namun demikian tidak berarti tidak ada secercah asa pada pariwisata kita. Negara Malaysia saja yang keanekaragaman budayanya masih kalah jauh dengan Indonesia mampu mendatangkan 15 juta wisatawan. Sehingga asumsinya Indonesia yang lebih kaya keanekaragama budaya dibandingkan negeri jiran tentu harusnya mampu mendatangkan lebih dari 15 juta wisatawan. Namun kenapa pada tahun 2007 pemerintah hanya menargetkan 6 juta wisatawan dan itupun menurut data BPS hingga Oktober 2007 hanya sebanyak 3,7 juta wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Tentu saja ada beberapa hal yang masih harus dibenahi agar potensi pariwisata kita mampu menjadi daya tarik wisatawan serta bisa bersaing dengan wisata Negara lain.
Industri pariwisata dapat dikategorikan sebagai industri jasa. Dimana industri pariwisata lebih menonjolkan pada sisi kepuasan secara psikologi (batin) para pelakunya, dalam hal ini wisatawan. Jasa sendiri terbagi atas lima karakteristik (Kotler, 2000). Pertama, Reliability, dimana karakteristik ini terkait dengan konsistensi dan kesesuaian pelayanan. Kedua, Responsiveness, karakteristik ini berhubungan dengan kemampua merespon secara cepat keluhan pelanggan. Ketiga, Assurance, yaitu kemampuan meyakinkan pelanggan serta memenuhi janji kepada pelangan. Keempat, Emphaty, yaitu terkait dengan kepedulian kepada pelanggan. Dan kelima, Tangible, yaitu karakteristik yang terkait dengan penampilan fisik, peralatan dan berbagai media komunikasi.
Kelima karakteristik jasa tersebut dapat dijadikan acuan pengukuran daya saing pariwisata kita terhadap pariwisata Negara lain. Artinya dengan menengok serta mencermati karakteristik jasa tersebut untuk kemudian membandingkannya dengan kondisi pariwisata kita saat ini maka dapat dilakukan analisis kelemahan-kelemahan yang membentang dalam industri pariwisata kita. Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian harus sesegera mungkin diperbaiki. Banyak hal yang masih harus diperbaiki dalam pariwisata kita bila bercermin pada karakteristik jasa. Sebagai contoh bila berbicara kaitannya dengan assurance. Tidak sedikit wisatawan, baik mancanegara maupun domestik yang kecele dengan program-program yang dijanjikan pihak biro perjalanan wisata. Apakah itu terkait dengan penginapan yang ternyata tidak layak huni, pelayanan yang mengecewakan, ataupun lokasi wisata yang tanpa dinyana tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Hal-hal semacam itu bisa jadi bagi pihak biro perjalanan merupakan hal yang remeh temeh namun sejatinya cukup krusial bagi pengguna jasa (wisatawan). Dan itulah esensi industri jasa, dimana kepuasan batin seringkali tidak bisa diukur dengan jumlah uang yang telah dikeluarkan.
Sekali lagi, masih banyak hal yang harus dibenahi untuk menyemai daya saing pariwisata kita. Program VIY 2008 yang telah dicanangkan oleh pemerintah bisa jadi adalah langkah awal serius pemerintah dalam membenahi indusri pariwisata Indonesia yang memang terlihat masih compang-camping. Lebih lanjut, perlu kiranya pemerintah berupaya secepat mungkin menambal lubang-lubang kelemahan dalam pengelolaan industri pariwisata Indonesia. Dengan adanya perbaikan yang nyata diharapkan pariwisata kita mampu bersaing dengan Negara-negara lain di dunia. Wisatawan-wisatawan asing dapat dengan nyaman dan aman menikmati Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya, pariwisata kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sehingga dengan demikian arus warga Negara kita yang berwisata ke luar negeri dapat diminimalisir dan sebaliknya mereka akan membanjiri tempat-tempat wisata di negeri sendiri.

*dimuat di Seputar Indonesia edisi 31 Desember 2007

PKL yang Selalu Tergusur


Pedagang kaki lima (PKL) menjadi korban penggusuran untuk kesekian kalinya. Sebanyak 300 lapak di kawasan Jalan Gembong, Jalan Kapasari, serta di Jalan Kalianyar Surabaya dirobohkan oleh Pemerintah Kota Surabaya (Kompas Jatim, 15/2). Alasan utama penggusuran PKL di kawasan tersebut adalah untuk memperlancar arus lalu lintas. Dimana PKL dianggap sebagai biang keladi kemacetan lalu lintas di kawasan tersebut. Pemkot Surabaya sendiri telah menawarkan relokasi PKL ke pasar tradisional meskipun usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pedagang. Dan apa mau dikata, penggusuran pun tetap menjadi tindakan mujarab untuk segera merealisasikan kehendak pemerintah. Protes para pedagang kemudian seakan menjadi angin belaka. PKL pun menjadi layaknya anak tiri dari sebuah pembangunan yang bisa jadi lebih memperhatikan pembangunan sektor formal (industri) semata.
Fenomena kemunculan PKL menjadi fenomena yang jamak terjadi di berbagai kota tidak hanya di Indonesia akan tetapi di banyak negara berkembang. Bagi pemerintah PKL seakan menjadi benalu yang menempel dalam setiap dinamika pembangunan kota. PKL bisa dikatakan merupakan konsekuensi logis terhadap ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Terlihat jelas bahwa para pedagang yang menjalankan aktifitas PKL didominasi oleh orang-orang dari luar kota. Para pedagang ini kebanyakan berasal dari wilayah-wilayah di sekitar kota yang melihat potensi ekonomi di kota dan pesimis terhadap perkembangan ekonomi di wilayahnya sendiri. Ketidakmerataan pembangunan antara desa dan kota inilah yang pada gilirannya menjadi pemantik urbanisasi yang begitu besar. Perkembangan ekonomi kota yang melesat jauh meninggalkan perkembangan ekonomi desa menjadi daya tarik orang-orang di pedesaan untuk mengadu untung di kota. Sementara stagnasi laju ekonomi desa yang ditandai dengan stagnannya sektor pertanian merupakan faktor lain yang menjadi daya dorong orang-orang di desa untuk mengais rejeki di kota. Mereka inilah yang kemudian karena tidak berbekal ketrampilan yang memadai menjadi orang-orang yang mendominasi para PKL di kota. Hal ini terjadi karena mereka memang tidak cukup ketrampilan untuk bersaing memperebutkan posisi pekerjaan di sektor formal. Tentu jalan satu-satunya agar mereka tetap bisa bertahan (survive) di kota adalah dengan bekerja di sektor informal, yang salah satunya adalah menjadi pedagang kaki lima.
Fenomena PKL sendiri tentunya tidak bisa dilihat dengan hanya menggunakan kacamata kuda. Fenomena PKL bukan semata fenomena ekonomi an sich akan tetapi juga merupakan fenomena yang menyentuh pada wilayah-wilayah sosial. Namun sayangnya yang terjadi kebanyakan pemerintah kota dalam menyikapi keberadaan PKL pendekatan yang digunakan lebih banyak memakai pendekatan yang bersifat praktis dan pragmatis bahkan cenderung represif. Dan kebijakan penggusuran selalu menjadi kebijakan yang jamak dilakukan oleh pemerintah-pemerintah kota sebagai wujud penolakan terhadap keikutsertaan PKL dalam gerbong pembangunan. Anehnya pemkot tidak jarang bersikap mendua dalam menyikapi keberadaan PKL. Pada satu sisi pemkot menolak keberadaan PKL karena dianggap menyalahi aturan tata wilayah namun pada sisi lain menarik retribusi terhadap para pedagang. Adanya penarikan retribusi, terlepas apakah itu hanya oknum aparat, memperlihatkan bahwa pemerintah ikut menikmati keberadaan PKL. Sementara yang diperlukan adalah kebijakan yang komprehensif dari pemerintah dalam menyikapi adanya PKL tersebut. Sebab bagaimanapun juga harus diakui bahwa sektor informal, dalam hal ini PKL, telah menyubsidi pemerintah dalam upaya mengurangi angka pengangguran. PKL telah mampu menjadi alternatif masyarakat dalam upaya memperoleh pekerjaan yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. PKL pun menjadi layaknya sekoci yang mampu mengurangi angka pengangguran dan bahkan bisa dikatakan keberadaan PKL mampu menjadi sekoci terhadap upaya mengurangi gejolak sosial di perkotaan sebagai konsekuensi adanya urbanisasi.
Menjamurnya PKL di perkotaan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh pemerintah kota. PKL merupakan fenomena permanen yang akan terus ada seiring dengan dinamika pembangunan kota. Pada sisi lain PKL juga menjadi gambaran adanya ketimpangan dalam pembangunan antara desa dan kota. Pembangunan hanya berjalan pada pusat-pusat pertumbuhan, yaitu perkotaan. Sementara wilayah-wilayah pinggiran (periphery regions) ataupun kawasan hinterland mengalami stagnasi pembangunan. Tidak mengherankan bila kemudian kota menjadi sandaran ekonomi bagi warga desa yang ingin memperbaiki ekonominya. Polarisasi pertumbuhan yang pada awalnya diharapkan menciptakan trickle down effect (efek rembesan ke bawah) justru yang nampak adalah apa yang disebut Gunnar Myrdal sebagai backwash effect, yaitu efek negatif dari pembangunan yang terpusat hanya pada kota. Dan memang benar apa yang diungkapkan oleh Walikota Surabaya Bambang DH bahwa permasalahan PKL di Surabaya bukan hanya permasalahan pemkot Surabaya akan tetapi juga permasalahan daerah-daerah lain yang selama ini warganya banyak berurbanisasi ke Surabaya. Artinya bahwa persoalan PKL di Surabaya harus juga dilihat dari perspektif pembangunan ekonomi di Jawa Timur secara menyeluruh. Timbulnya urbanisasi ke Surabaya yang notabene merupakan salah satu pemicu munculnya PKL-PKL di Surabaya bisa jadi disebabkan kurang berkembangnya pembangunan ekonomi di daerah asal para pedagang kaki lima. Hal ini juga merefleksikan adanya ketimpangan daya saing wilayah di Jawa Timur sehingga menyebabkan Surabaya menjadi pusat konsentrasi kegiatan ekonomi maupun sosial yang cukup dominan di Jawa Timur.
Namun demikian bukan berarti pihak Pemkot Surabaya bisa begitu saja cuci tangan terhadap persoalan PKL ini dan dengan begitu mudahnya melakukan penggusuran PKL. Bagaimanapun juga, di saat pemerintah telah gagal menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warganya maka PKL harus diapresiasi sebagai bentuk inovasi usaha warga untuk tetap bertahan hidup di tengah gejolak ekonomi yang bisa berpotensi menyulut gejolak sosial. Dalam menyelesaikan persoalan PKL ini Pemkot Surabaya tidak bisa lagi menerapkan konsep zero sum game akan tetapi harus lebih mengedepankan win-win solution.
Munculnya permasalahan yang disebabkan oleh keberadaan PKL di perkotaan, dalam hal ini Surabaya, tentu menjadi PR tidak hanya bagi Pemkot Surabaya akan tetapi juga PR bagi Pemprov Jawa Timur. Dalam hal ini Pemprov Jawa Timur harus mampu menstimulus daerah-daerah untuk memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri. Dengan memiliki keunggulan maka diharapkan tercipta potensi-potensi ekonomi yang bisa dikembangkan di masing-masing daerah. Hal itulah yang kemudian bisa dijadikan tuas untuk menghidupkan roda perekonomian yang dinamis di seluruh wilayah di Jawa Timur. Semoga cerita penggusuran PKL akan segera tutup buku dengan adanya solusi yang komprehensif dan bukannya parsial serta pragmatis.