Piala Dunia, Jabulani, dan Vuvuzela

Piala Dunia 2010 untuk pertama kalinya diadakan di Benua Afrika, tepatnya di negara Afrika Selatan. Dipilihnya benua Afrika sebagai host penyelenggaraan event terbesar olah raga sepak bola tersebut bisa jadi adalah sebagai upaya FIFA untuk pemerataan. Selama ini Piala Dunia selalu identik dengan benua Eropa dan Amerika. Tahun 2002 Asia telah memperoleh “jatah” pemerataan tersebut lewat Korea Selatan dan Jepang sebagai tuan rumah bersama. Dan untuk Piala Dunia pertama di “Benua Hitam” ini negara Afrika Selata berkesempatan menjadi tuan rumahnya. Tentu tidak sulit untuk menebak kenapa Afrika Selatan yang dipilih untuk menjadi tuan rumah. Di sana tinggal sosok kharismatik yang dikagumi banyak orang di planet ini, seperti halnya  suporter sepak bola seantero dunia mengagumi sosok Messi ataupun Ronaldo. Sosok itu tidak lain adalah Nelson Mandela, seorang kulit hitam yang menjadi tokoh sentral pendobrak sistem Apharteid di Afrika Selatan. Tidak bisa dipungkiri bahwa sosok Nelson Mandela telah ikut berperan besar dalam menjadikan Afrika Selatan sebagai negara pertama yang menjadi tuan rumah di Afrika. Dia adalah ikon perubahan di benua Afrika, dan bahkan di dunia. Selain tentu saja kesiapan pemerintah setempat untuk menyelenggarakan even yang akbar ini.

Buku


Sejak diketemukannya kertas oleh Ts’ailun pada sekitar tahun 105 Masehi dunia tulis-menulis telah mengalami perkembangan yang cukup maju dan juga ilmu pengetahuan. Perkembangan tersebut semakin melaju dengan diketemukannya mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada sekitar tahun 1454 Masehi. Buku-buku semakin banyak diproduksi untuk menggantikan gulungan-gulungan. Ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan dengan mudah direproduksi dalam lembaran-lembaran kertas buku. Adanya buku telah membawa ilmu pengetahuan bertebaran di muka bumi. Masyarakat Asia bisa mengetahui ilmu pengetahuan masyarkat Eropa, masyarakat Eropa bisa mengetahui ilmu pengetahuan masyarkat Amerika, begitu juga sebaliknya. Adigium buku adalah jendela dunia pun menjadi tidak terbantahkan.

Intelektual dan Kekuasaan



Sejarah perkembangan suatu bangsa seringkali tidak pernah lepas dari peran masyarakat terdidik. Sebuah masyarakat yang biasa dinamakan sebagai kelompok intelektual. Indonesia sendiri dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari sepak terjang peran kelompok ini. Kelompok intelektual di Indonesia tidak pernah absen dalam setiap periode perubahan sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa. Mulai tahun 1908 hingga 1998 kelompok intelektual telah hadir sebagai kelompok yang berada di garda depan sebuah perubahan bangsa Indonesia. Kelompok ini pulalah yang menjadi pendobrak dalam perubahan metode perjuangan sebuah ide ataupun cita-cita. Perjuangan kemerdekaan melalui perang fisik menjadi sesuatu hal yang “basi” dan dianggap tidak efektif ketika kelompok ini menjadikan diplomasi sebagai alat perjuangan yang mereka anggap lebih ampuh dan tangguh. Dasyatnya kekuatan kelompok intelektual tidak sedikit yang membuat kelompok
status quo (penguasa) menjadikan kelompok intelektual sebagai pihak yang membahayakan kekuasaan. Kekuatan bagi kelompok intelektual tidak lagi dilihat dari kekuatan persenjataan akan tetapi dari kekuatan pemikiran. Pemikiran-pemikiran yang kritis menjadi senjata yang ampuh bagi kelompok intelektual untuk “menyerang” para penguasa yang otoriter. Saking kewalahannya para penguasa dalam mengendalikan kelompok ini mereka hingga harus menggunakan cara-cara yang di luar batas-batas kemanusiaan. Sudah banyak dicatat dalam sejarah bagaimana kelompok intelektual diperlakukan secara tidak manusiawi oleh penguasa yang lalim.