PKL yang Selalu Tergusur


Pedagang kaki lima (PKL) menjadi korban penggusuran untuk kesekian kalinya. Sebanyak 300 lapak di kawasan Jalan Gembong, Jalan Kapasari, serta di Jalan Kalianyar Surabaya dirobohkan oleh Pemerintah Kota Surabaya (Kompas Jatim, 15/2). Alasan utama penggusuran PKL di kawasan tersebut adalah untuk memperlancar arus lalu lintas. Dimana PKL dianggap sebagai biang keladi kemacetan lalu lintas di kawasan tersebut. Pemkot Surabaya sendiri telah menawarkan relokasi PKL ke pasar tradisional meskipun usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pedagang. Dan apa mau dikata, penggusuran pun tetap menjadi tindakan mujarab untuk segera merealisasikan kehendak pemerintah. Protes para pedagang kemudian seakan menjadi angin belaka. PKL pun menjadi layaknya anak tiri dari sebuah pembangunan yang bisa jadi lebih memperhatikan pembangunan sektor formal (industri) semata.
Fenomena kemunculan PKL menjadi fenomena yang jamak terjadi di berbagai kota tidak hanya di Indonesia akan tetapi di banyak negara berkembang. Bagi pemerintah PKL seakan menjadi benalu yang menempel dalam setiap dinamika pembangunan kota. PKL bisa dikatakan merupakan konsekuensi logis terhadap ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Terlihat jelas bahwa para pedagang yang menjalankan aktifitas PKL didominasi oleh orang-orang dari luar kota. Para pedagang ini kebanyakan berasal dari wilayah-wilayah di sekitar kota yang melihat potensi ekonomi di kota dan pesimis terhadap perkembangan ekonomi di wilayahnya sendiri. Ketidakmerataan pembangunan antara desa dan kota inilah yang pada gilirannya menjadi pemantik urbanisasi yang begitu besar. Perkembangan ekonomi kota yang melesat jauh meninggalkan perkembangan ekonomi desa menjadi daya tarik orang-orang di pedesaan untuk mengadu untung di kota. Sementara stagnasi laju ekonomi desa yang ditandai dengan stagnannya sektor pertanian merupakan faktor lain yang menjadi daya dorong orang-orang di desa untuk mengais rejeki di kota. Mereka inilah yang kemudian karena tidak berbekal ketrampilan yang memadai menjadi orang-orang yang mendominasi para PKL di kota. Hal ini terjadi karena mereka memang tidak cukup ketrampilan untuk bersaing memperebutkan posisi pekerjaan di sektor formal. Tentu jalan satu-satunya agar mereka tetap bisa bertahan (survive) di kota adalah dengan bekerja di sektor informal, yang salah satunya adalah menjadi pedagang kaki lima.
Fenomena PKL sendiri tentunya tidak bisa dilihat dengan hanya menggunakan kacamata kuda. Fenomena PKL bukan semata fenomena ekonomi an sich akan tetapi juga merupakan fenomena yang menyentuh pada wilayah-wilayah sosial. Namun sayangnya yang terjadi kebanyakan pemerintah kota dalam menyikapi keberadaan PKL pendekatan yang digunakan lebih banyak memakai pendekatan yang bersifat praktis dan pragmatis bahkan cenderung represif. Dan kebijakan penggusuran selalu menjadi kebijakan yang jamak dilakukan oleh pemerintah-pemerintah kota sebagai wujud penolakan terhadap keikutsertaan PKL dalam gerbong pembangunan. Anehnya pemkot tidak jarang bersikap mendua dalam menyikapi keberadaan PKL. Pada satu sisi pemkot menolak keberadaan PKL karena dianggap menyalahi aturan tata wilayah namun pada sisi lain menarik retribusi terhadap para pedagang. Adanya penarikan retribusi, terlepas apakah itu hanya oknum aparat, memperlihatkan bahwa pemerintah ikut menikmati keberadaan PKL. Sementara yang diperlukan adalah kebijakan yang komprehensif dari pemerintah dalam menyikapi adanya PKL tersebut. Sebab bagaimanapun juga harus diakui bahwa sektor informal, dalam hal ini PKL, telah menyubsidi pemerintah dalam upaya mengurangi angka pengangguran. PKL telah mampu menjadi alternatif masyarakat dalam upaya memperoleh pekerjaan yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. PKL pun menjadi layaknya sekoci yang mampu mengurangi angka pengangguran dan bahkan bisa dikatakan keberadaan PKL mampu menjadi sekoci terhadap upaya mengurangi gejolak sosial di perkotaan sebagai konsekuensi adanya urbanisasi.
Menjamurnya PKL di perkotaan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh pemerintah kota. PKL merupakan fenomena permanen yang akan terus ada seiring dengan dinamika pembangunan kota. Pada sisi lain PKL juga menjadi gambaran adanya ketimpangan dalam pembangunan antara desa dan kota. Pembangunan hanya berjalan pada pusat-pusat pertumbuhan, yaitu perkotaan. Sementara wilayah-wilayah pinggiran (periphery regions) ataupun kawasan hinterland mengalami stagnasi pembangunan. Tidak mengherankan bila kemudian kota menjadi sandaran ekonomi bagi warga desa yang ingin memperbaiki ekonominya. Polarisasi pertumbuhan yang pada awalnya diharapkan menciptakan trickle down effect (efek rembesan ke bawah) justru yang nampak adalah apa yang disebut Gunnar Myrdal sebagai backwash effect, yaitu efek negatif dari pembangunan yang terpusat hanya pada kota. Dan memang benar apa yang diungkapkan oleh Walikota Surabaya Bambang DH bahwa permasalahan PKL di Surabaya bukan hanya permasalahan pemkot Surabaya akan tetapi juga permasalahan daerah-daerah lain yang selama ini warganya banyak berurbanisasi ke Surabaya. Artinya bahwa persoalan PKL di Surabaya harus juga dilihat dari perspektif pembangunan ekonomi di Jawa Timur secara menyeluruh. Timbulnya urbanisasi ke Surabaya yang notabene merupakan salah satu pemicu munculnya PKL-PKL di Surabaya bisa jadi disebabkan kurang berkembangnya pembangunan ekonomi di daerah asal para pedagang kaki lima. Hal ini juga merefleksikan adanya ketimpangan daya saing wilayah di Jawa Timur sehingga menyebabkan Surabaya menjadi pusat konsentrasi kegiatan ekonomi maupun sosial yang cukup dominan di Jawa Timur.
Namun demikian bukan berarti pihak Pemkot Surabaya bisa begitu saja cuci tangan terhadap persoalan PKL ini dan dengan begitu mudahnya melakukan penggusuran PKL. Bagaimanapun juga, di saat pemerintah telah gagal menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warganya maka PKL harus diapresiasi sebagai bentuk inovasi usaha warga untuk tetap bertahan hidup di tengah gejolak ekonomi yang bisa berpotensi menyulut gejolak sosial. Dalam menyelesaikan persoalan PKL ini Pemkot Surabaya tidak bisa lagi menerapkan konsep zero sum game akan tetapi harus lebih mengedepankan win-win solution.
Munculnya permasalahan yang disebabkan oleh keberadaan PKL di perkotaan, dalam hal ini Surabaya, tentu menjadi PR tidak hanya bagi Pemkot Surabaya akan tetapi juga PR bagi Pemprov Jawa Timur. Dalam hal ini Pemprov Jawa Timur harus mampu menstimulus daerah-daerah untuk memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri. Dengan memiliki keunggulan maka diharapkan tercipta potensi-potensi ekonomi yang bisa dikembangkan di masing-masing daerah. Hal itulah yang kemudian bisa dijadikan tuas untuk menghidupkan roda perekonomian yang dinamis di seluruh wilayah di Jawa Timur. Semoga cerita penggusuran PKL akan segera tutup buku dengan adanya solusi yang komprehensif dan bukannya parsial serta pragmatis.


Tidak ada komentar: