Pram


Diantara sekian banyak sastrawan yang pernah dipunyai Indonesia sosok Pramoedya Ananta Toer merupakan figur yang layak disebut terdepan. Pram, begitu panggilan akrab Pramoedya, adalah seorang sastrawan kaliber Nobel. Lewat novel tetralogi Burunya Pram disebut-sebut pada saat itu sebagai kandidat kuat peraih Nobel Sastra dari Asia. Meskipun hingga akhir hayatnya tidak jua memegang penghargaan bergengsi itu karya-karya Pram tetap menjadi karya fenomenal yang layak diapresiasi. Karya-karya Pram, utamanya Tetralogi Buru, telah banyak memberikan inspirasi bagi kelompok muda di Indonesia. Bagi beberapa kalangan aktivis karya Pram seakan menjadi sebuah buku wajib.
Tetralogi Pulau Buru merupakan karya Pram yang sangat fenomenal dan monumental diantara karya-karya Pram yang lain. Karya ini terdiri dari empat jilid novel yang meliputi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, serta Rumah Kaca. Melalui tetralogi Buru ini Pram menguraikan sejarah permulaan pergerakan bangsa Indonesia menurut versinya. Sosok Minke, yang di akhir cerita kemudian diketahui sebagai perwujudan sosok nyata perintis jurnalistik Indonesia, yaitu Tirto Adi Suryo, menjadi figur sentral dalam alur cerita yang berlatar belakang akhir abad 20. Melalui sosok Minke inilah Pram mengobrak-abrik sejarah perjuangan bangsa Indonesia, mengkritik budaya-budaya feodal yang dianut para elit Jawa, dan menyuarakan penderitaan rakyat. Tidak hanya itu, Pram juga menyuarakan sebuah emansipasi wanita melalui sosok penting lain dalam Tetralogi ini, yakni Nyai Ontosoroh, seorang gundik dari penguasa Belanda dan sekaligus mertua dari Minke. Kerasnya kritik Pram dalam Tetralogi ini dibayar tuntas dengan dilarangnya novel ini oleh Kejaksaan Agung RI pada saat itu.
Masa lalu Pram yang keras bisa jadi menjadi salah satu faktor yang membentuk sosok Pram yang keras pula. Karakter Pram tersebut tidak sulit kita jumpai pada diri tokoh-tokoh yang diciptakan Pram dalam novel-novel. Minke, Galeng, Arok, merupakan tokoh-tokoh dalam novel karya Pram yang patut disebut untuk bisa melihat watak Pram yang keras, tegas, dan berdisiplin tinggi. Dengan karakter itu pulalah yang menjadikannya mampu menjalani garis sejarahnya baik sebagai seorang sastrawan, jurnalis, maupun ketika menjalani pengasingan di Pulau Buru.
Melalui karya-karyanya, baik fiksi maupun non fiksi, yang mengandung nilai-nilai sejarah maka tidak salah kiranya jika Pram adalah juga seorang sejarawan. Pram melalui riset-risetnya yang tekun dan begitu detil yang kemudian diwujudkan dalam novel maupun ulasan-ulasan sejarah yang ilmiah telah memberikan sumbangan yang tidak kecil terhadap sejarah Indonesia. Arok Dedes menjadi salah satu contoh yang layak dikemukakan betapa Pram merupakan sosok sastrawan yang merangkap sebagai sejarawan sekaligus peneliti. Kita bisa melihat dalam novel ini bagaimana Pram dengan begitu detil mengurai anatomi agama Hindu dan Budha. Pram juga dengan lugas mengulas latar belakang konflik politik yang berkelindan konflik agama dalam pemberontakan yang digelorakan Arok. Ulasan yang menjadikan kita berpikir kritis atas sejarah berdirinya kerajaan Singosari.
Meski sosok Pram telah tiada namun pemikirannya tetap menjadi inspirasi banyak kalangan. Karya-karyanya masih diburu oleh para aktivis hingga saat ini untuk dijadikan pegangan dalam beraksi. Bahkan untuk karya-karya tertentu harganya begitu meroket saking susahnya mencari karya tersebut. Kita tentu berharap akan muncul pengganti Pram yang menulis karya sastra tidak hanya untuk mengikuti selera pasar. Kita berharap akan muncul sosok sastrawan, layaknya Pram, yang mengabdikan tulisannya untuk menginspirasi bangsa.

1 komentar:

Ahmad Jayadi mengatakan...

Saya masih sampai 30% dari ketebalan Rumah Kaca. Saya sempatkan setiap pagi menjelang mandi untuk membacanya, 2-4 halaman rasanya cukup untuk melihat Indonesia di masa penjajahan dulu.
Mantap Bung..