Tiger Woods dan Hancurnya Sebuah Merek


Nama lengkapnya Eldrick Tont Woods sedangkan nama tenarnya Tiger Woods. Siapa yang tidak kenal dengan nama mentereng ini, apalagi para penggila olah raga golf. Tiger Woods adalah “macan” di olah raga golf. Berbagai rekor olah raga golf telah ia raih dalam usia yang cukup muda. Hingga tidak heran bila ia disejajarkan dengan beberapa nama legenda golf, termasuk diantaranya Jack Nicklaus. Yang menjadikannya semakin istimewa tentu saja karena dia adalah pegolf yang berkulit hitam. Seperti halnya dengan Lewis Hamilton di olah raga “jet darat” F1 yang menerobos dominasi pebalap kulit putih maka Tiger Woods telah melakukannya di golf.
Tiger Woods merupakan anak dari pasangan seorang ayah yang keturunan Afrika dan ibu yang berdarah Thailand. Didikan ayahnya yang juga merupakan atlet baseball serta veteran perang Vietnam menjadikan Tiger Woods menjadi sosok yang tekun dan memiliki disiplin yang tinggi. Terbukti Tiger Woods mampu menuntaskan studinya di Universitas Stanford sekaligus juga memperoleh kemenangan demi kemenangan di ajang olah raga ayun tongkat ini.
Kemonceran Tiger Woods jelas menjadi sebuah nilai tersendiri bagi diri Tiger Woods sendiri maupun bagi dunia olah raga golf, yang sepeninggal Jack Nicklaus belum memunculkan lagi sosok yang fenomenal. Bagi Tiger Woods dengan berbagai prestasi yang diraihnya, yang bahkan melebihi sang legenda Jack Nicklaus, tentu saja nilai jual dirinya ikut melambung. Kehidupan Tiger Woods yang sempurna baik di lapangan maupun di luar lapangan menjadi poin besar bagi merek-merek produk terkenal untuk mengontraknya. Nike menjadi salah satu merek prestis pertama yang kepincut untuk menjadikan Tiger Woods sebagai ikon mereknya. Sementara bagi pengelola olah raga golf (PGA) tentu Tiger Woods adalah aset besar. Seperti halnya olah raga-olah raga yang yang lain, dimana saat ini olah raga semakin mengedepankan nilai-nilai komersil maka ikon olahragawan yang komersil pun menjadi sebuah kebutuhan yang mendasar. Olah raga telah menjadi industri yang berkembang dengan sangat pesat. Polesan-polesan konsep bisnis pun pada gilirannya harus diterapkan untuk bisa mencapai profit pada bisnis olah raga ini. Tidak heran sosok olahragawan dimunculkan untuk mendongkrak nilai komersil dari sebuah olah raga. Tentunya sosok yang dipilih adalah sosok-sosok olahragawan yang fenomanal maupun memiliki kelebihan tersendiri pada bidang olahraganya. Pada sosok-sosok inilah ujung tombak pemasaran diamanahkan. Sepak terjang mereka akan selalu “dikendalikan” oleh industri olah raga agar mampu memenuhi ekspektasi pasar. Hampir semua jenis olah raga memiliki sosok-sosok yang menjadi ikon merek olah raga bersangkutan. Sepak bola “menyihir” lewat sosok David Beckham ataupun Leonel Messi, tenis memiliki ikon seorang Roger Federe, sementara basket mengandalkan “pemasarannya” salah satunya pada Kobe Bryant maupun yang fenomenal tentu saja adalah Michael Jordan. Bahkan keberadaan Yao Ming yang asal China di jagad NBA jelas ikut mendongkrak pasar NBA di Asia, dan khususnya China yang notabene salah satu Negara berpenduduk terbesar di dunia. Nah, pada golf maka sosok Tiger Woods adalah jaminan kualitas yang bisa mendatangkan banyak sponsor dan tentu saja penonton. Lapangan golf selalu penuh dengan penonton dan bertaburan sponsor selama Tiger Woods ikut berpartisipasi.
Dunia golf benar-benar menikmati era emas bersama Tiger Woods dalam beberapa tahun belakangan. Hingga kemudian peristiwa yang menghebohkan tersebut terjadi. Kecelakaan mobil yang dialami Sang Fenomenal pada dini hari di suatu hari menguak perilaku dan kehidupan negatifnya. Lewat kecelakaan tersebut kehidupan Tiger Woods yang penuh dengan segudang prestasi mengalamai kecelakaan pula. Peristiwa kecelakaan tersebut ikut membongkar perselingkuhan Tiger Woods dengan beberapa wanita yang bukan istrinya. Munculnya pengakuan demi pengakuan dari wanita-wanita yang menjadi teman selingkuhnya benar-benar merontokkan nilai dirinya. Personal branding yang telah terbangun bertahun-tahun lewat prestasi di lapangan golf hancur lebur karena “prestasi” di luar lapangan. Kesetiaan pada keluarga yang selama ini juga menjadi poin besar dalam menyumbang personal branding pada Tiger Woods  ternoda dengan adanya peristiwa yang memalukan tersebut.
Peristiwa tersebut jelas menampar para sponsor Tiger Woods maupun PGA. Rusaknya pamor Tiger Woods menjadi rusak pula pamor sponsornya. Tidak heran bila kemudian beberapa merek terkenal yang selama ini menjadi sponsor bagi Tiger Woods satu persatu mulai memutuskan kontraknya. Tentu saja langkah ini mereka lakukan sebagai upaya untuk menyelamatkan ekuitas merek produk mereka. Demikian pula dengan keberadaan Tiger Woods sebagai ikon golf. Dengan adanya peristiwa perselingkuhannya tersebut berpotensi besar mereduksi nilai jual olah raga golf. Pertandingan-pertandingan golf yang digelar PGA berpotensi akan sepi penonton dan sponsor sepeninggal Tiger Woods. Kesemuanya tersebut tidak lepas dari keberadaan Tiger Woods sebagai merek. Merek adalah identitas baik bagi suatu barang/jasa maupun bagi seseorang. Lewat sebuah identitas inilah pemasaran melakukan fungsinya bagi sebuah produk pasar. Promosi, iklan, dan aspek-aspek pemasaran lain semuanya berbasis pada sebuah identitas suatu produk yang direpresentasikan lewat merek. Di sisi lain, merek adalah juga sebuah aset yang memiliki nilai jual. Mahalnya produk minuman, pakaian, ataupun tiket sebuah pertandingan olah raga tidak lagi dimonopoli oleh kualitas produk akan tetapi pada kualitas merek.
Tiger Woods pada akhirnya secara terbuka lewat sebuah konferensi pers terbatas menyampaikan permintaan maaf dan penyesalannya. Apa yang dilakukan oleh Tiger Woods ini bisa jadi adalah upaya awal untuk mencoba memperbaiki identitas mereknya yang telah tercoreng. Tentu bukan langkah awal yang mudah untuk bisa mengembalikan popularitas citra merek bernama Tiger Woods ini seperti sediakala. Namun demikian patut dicermati langkah-langkah selanjutnya yang akan dilakukan Tiger Woods untuk menjadikan ekuitas mereknya kembali bernilai mahal. Menarik untuk ditunggu.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Brand, atau merk sebenarnya disandang siapa saja. Brand tidak hanya dikenal oleh dunia bisnis (bila orang sebagai subyek atau berdiri sendiri tidak bisa dikatakan sebagai organisasi bisnis) namun setiap manusia memiliki brand ini pada dirinya.
Sebagai individu, setiap manusia mempunyai nama, mungkin itulah brand manusia, jika nama baiknya sudah jatuh, maka merk itu akan jatuh dan dilupakan juga. Contoh Brand JK mewakili "Lebih Cepat lebih Baik", Brand SBY mungkin mewakili sebaliknya hehehehehe... ini hanya sekedar tanggapn, baik juga kan bila kita saling berdiskusi?