Masyarakat Virtual


http://www.mywebsearchonline.com

Dalam bukunya yang sangat fenomenal dan klasik, yakni The Third Wave (Gelombang Ketiga), futurolog Alvin Toffler mengemukakan adanya tiga tahapan perkembangan peradaban manusia. Ketiga tahapan tersebut meliputi: Era Pertanian sebagai Gelombang Pertama, Era Industri sebagai Gelombang Kedua, serta Era Informasi sebagai Gelombang Ketiga. Hampir tiga dekade belakangan ini, yakni sejak Bill Gates memperkenalkan Microsoft kepada dunia, peradaban manusia telah memasuki apa yang disebut Alvin Toffler sebagai Gelombang Ketiga. Prasyarat-prasyarat untuk memasuki Gelombang Ketiga tersebut telah cukup memadai untuk menjadikan masyarakat dunia memasuki Era Informasi. Perkembangan teknologi dan informasi dalam beberapa tahun belakangan ini meluncur dengan begitu deras bak air bah.
Salah satu medium teknologi informasi yang perkembangannya sangat bombastis adalah internet. Berbagai piranti, baik piranti lunak (software) maupun piranti keras (hardware), telah bermunculan untuk menopang kemajuan internet agar lebih memudahkan masyarakat dalam mengakses internet. Hal terbukti dengan semakin membengkaknya pengguna internet dalam skala lokal, nasional, maupun global. Bahkan keberadaan internet pada gilirannya telah merubah budaya, kebiasaan, maupun pola hidup manusia. Perubahan pola interaksi masyarakat menjadi salah satu contoh betapa internet telah berperan bagi masyarakat ataupun individu dalam memaknai arti interaksi. Kemampuan internet menghadirkan teknologi yang memungkinkan individu untuk saling bertatap muka dengan individu lain tanpa harus bertemu secara fisik telah memberikan cara pandang baru bagi masyarakat serta individu dalam berinteraksi, termasuk dalam berbisnis.

Media sosial menjadi piranti dalam internet yang dalam beberapa tahun terakhir ikut menyulut munculnya euforia internet di kalangan masyarakat luas. Masyarakat berbondong-bondong mengakses internet hanya untuk menjadi anggota media sosial. Salah satu tujuan utama menjadi anggota media sosial tersebut adalah hanya sekedar ingin terkoneksi dengan teman-teman, baik teman kerja maupun teman sekolah. Pada gilirannya media sosial telah menjadi media interaksi bagi masyarakat yang tidak kalah intensifnya dengan interaksi langsung (face to face) di dunia nyata. Twitter, sebagai contoh, merupakan salah satu media sosial yang saat ini begitu digandrungi masyarakat luas, mulai dari politisi, selebriti, sosialita, akademisi, jurnalis, hingga anak-anak. Bahkan tahun ini Twitter telah menembus 200 milyar komentar (tweet) dari anggotanya (tweeps).
Internet telah berhasil menciptakan masyarakat baru yang tanpa sekat geografis, yakni masyarakat virtual. Bahkan saat ini dimanapun kita berada maka kita tidak begitu sulit untuk mengaitkan diri kita dengan dunia virtual. Dengan teknologi yang mutakhir kita bahkan selama 24 jam bisa berinteraksi dalam dua dunia yang berbeda, dunia nyata dan dunia virtual. Keberadaan telepon genggam, teknologi wifi ataupun modem nirkabel yang memiliki fasilitas untuk bisa selalu online telah memungkinkan kita melakukan hal itu, dimanapun dan kapanpun. Masyarakat virtual begitu riuh dengan berbagai berita, diskusi, gosip, bully, tweet hingga update status. Dunia maya menjadi dunia yang tidak mengenal siang dan malam atau bahkan GMT sebagai patokan pembeda waktu antar belahan dunia.
Dalam batas-batas tertentu masyarakat virtual tidak lebih dari masyarakat hiperrealitas. Keriuhan yang dihadirkan oleh masyarakat virtual seolah tidak lebih dari masyarakat yang seoalah-olah. Keseolah-olahan yang dihadirkan dalam masyarakat virtual merupakan representasi kamuflase dari sebuah masyarakat offline. Meskipun pelaku dari masyarakat virtual dan masyarakat offline adalah sama namun pada kenyataannya mereka memiliki realitas yang berbeda. Seorang anggota masyarakat virtual yang suka berkicau di twitter pada kenyatannya belum tentu merupakan sosok yang suka berbicara di masyarakat offline, begitu sebaliknya. Saat itulah mereka telah menjadi sosok Janus.

Tidak ada komentar: