
Piala Dunia, Jabulani, dan Vuvuzela

Buku
Sejak diketemukannya kertas oleh Ts’ailun pada sekitar tahun 105 Masehi dunia tulis-menulis telah mengalami perkembangan yang cukup maju dan juga ilmu pengetahuan. Perkembangan tersebut semakin melaju dengan diketemukannya mesin cetak oleh Johann Gutenberg pada sekitar tahun 1454 Masehi. Buku-buku semakin banyak diproduksi untuk menggantikan gulungan-gulungan. Ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan dengan mudah direproduksi dalam lembaran-lembaran kertas buku. Adanya buku telah membawa ilmu pengetahuan bertebaran di muka bumi. Masyarakat Asia bisa mengetahui ilmu pengetahuan masyarkat Eropa, masyarakat Eropa bisa mengetahui ilmu pengetahuan masyarkat Amerika, begitu juga sebaliknya. Adigium buku adalah jendela dunia pun menjadi tidak terbantahkan.
Intelektual dan Kekuasaan

Sejarah perkembangan suatu bangsa seringkali tidak pernah lepas dari peran masyarakat terdidik. Sebuah masyarakat yang biasa dinamakan sebagai kelompok intelektual. Indonesia sendiri dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari sepak terjang peran kelompok ini. Kelompok intelektual di Indonesia tidak pernah absen dalam setiap periode perubahan sejarah perkembangan dan pembangunan bangsa. Mulai tahun 1908 hingga 1998 kelompok intelektual telah hadir sebagai kelompok yang berada di garda depan sebuah perubahan bangsa Indonesia. Kelompok ini pulalah yang menjadi pendobrak dalam perubahan metode perjuangan sebuah ide ataupun cita-cita. Perjuangan kemerdekaan melalui perang fisik menjadi sesuatu hal yang “basi” dan dianggap tidak efektif ketika kelompok ini menjadikan diplomasi sebagai alat perjuangan yang mereka anggap lebih ampuh dan tangguh. Dasyatnya kekuatan kelompok intelektual tidak sedikit yang membuat kelompok status quo (penguasa) menjadikan kelompok intelektual sebagai pihak yang membahayakan kekuasaan. Kekuatan bagi kelompok intelektual tidak lagi dilihat dari kekuatan persenjataan akan tetapi dari kekuatan pemikiran. Pemikiran-pemikiran yang kritis menjadi senjata yang ampuh bagi kelompok intelektual untuk “menyerang” para penguasa yang otoriter. Saking kewalahannya para penguasa dalam mengendalikan kelompok ini mereka hingga harus menggunakan cara-cara yang di luar batas-batas kemanusiaan. Sudah banyak dicatat dalam sejarah bagaimana kelompok intelektual diperlakukan secara tidak manusiawi oleh penguasa yang lalim.
Langganan:
Postingan (Atom)