UKM sebagai Basis Ekonomi Rakyat


UKM Kerajinan Kelapa
Usaha kecil menengah (UKM) dalam lanskap pembangunan ekonomi di Indonesia kerap disebut-sebut sebagai soko gurunya pembangunan ekonomi. Pemahaman ini dilandaskan pada basis UKM sendiri yang memang seringkali bersifat padat karya dan telah menjadi aktivitas yang mengakar di kalangan masyarakat. Singkatnya, UKM merupakan basis aktivitas ekonomi masyarakat, utamanya di kalangan menengah ke bawah.

Keberadaan UKM sebagai basis ekonomi masyarakat tentunya tidak lepas dari sifat dasar UKM sendiri yang tidak memerlukan modal besar dan tingkat pendidikan yang memadai. Cukup dengan modal dan ketrampilan secukupnya, dan ditambah keberanian maka masyarakat sudah bisa menjalankan dan mengelola UKM. Tidak heran bila kemudian UKM cenderung merupakan usaha yang berbasis industri rumah tangga dengan skala usaha yag tidak besar. UKM sendiri pun cenderung telah menjadi sebuah usaha yang berjalan secara turun-temurun dan menjadi sebuah tradisi. Hal inilah yang menjadikan UKM dalam beberapa hal menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang “tahan banting”. Para pelaku UKM dengan segala upaya mempertahankan kegiatan usahanya yang bisa jadi dikarenakan sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi keluarga yang telah turun-temurun tersebut, walau dengan menanggung kerugian finansial yang tidak kecil jumlahnya. UKM kemudian telah menjadi urat nadi sebuah eksistensi keluarga dalam relasi sosial. Dan kenyataan bahwa UKM menjadi kegiatan yang konsisten dan tahan banting dapat ditelusuri ketika negara ini mengalami krisis ekonomi yang begitu hebat pada tahun 1997.



Hal yang juga perlu dicermati tentang UKM tentunya adalah daya serap UKM terhadap tenaga kerja yang begitu tinggi. Dalam skala nasional data antara tahun 1997 hingga tahun 2002 menunjukkan betapa konsistennya UKM dalam menyerap tenaga kerja, yaitu rata-rata mencapai 99,44 persen. Sementara di Jawa Timur sendiri, sebagaimana dikatakan oleh Kepala Dinas Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah Propinsi Jawa Timur, setiap unit UKM rata-rata mampu menyerap enam tenaga kerja. Jadi, bila di Jawa Timur terdapat 2,32 juta unit UKM, maka tenaga kerja yang terserap mencapai 13,9 juta orang (Kompas, 16 Februari 2006). Sebuah jumlah yang cukup fantastis tentunya. Tingginya daya serap tenaga kerja tersebut telah menjadikan UKM sebagai salah satu alternative solusi untuk mengurangi tingkat pengangguran yang telah menggurita di berbagai daerah di pelosok Indonesia. Dan pada dasarnya alternatif solusi tersebut wajar-wajar saja. Namun yang menjadi pertanyaan adalah sejauhmana kondisi UKM sendiri saat ini. Mampukah UKM memikul beban yang tidak ringan tersebut. Bila melihat angka-angka statistik diatas, dapat dikatakan UKM akan sangat mampu untuk membantu pemerintah dalam mengurangi tingkat pengangguran. Akan tetapi kita juga perlu melihat persoalan-persoalan yang melilit UKM.  

Bila dirunut ke belakang maka kita semua mahfum bahwa dalam tiga dasawarsa era Orde Baru UKM menjadi sektor yang termarjinalkan. Dimana perhatian pemerintah lebih dipalingkan ke sektor usaha-usaha besar. Dan dengan jargon treckle down effect, pemerintah dengan percaya diri meneguhkan pola konglomerasi. Ini bisa dilihat jejak-jejaknya yang terlihat hingga saat ini, bagaimana sektor usaha-usaha besar begitu dimanja oleh pemerintah. Banyaknya kredit-kredit macet yang dilakukan oleh para pengusaha besar merupakan jejak yang begitu jelas bagi kita untuk melihat dominasi para pengusaha besar dalam pembangunan ekonomi Indonesia masa lalu. Dan UKM pada masa itu telah terabaikan peran dan eksistensinya. Hingga jelas bahwa persoalan permodalan UKM pun terganjal oleh hegemoni sektor usaha besar. Sementara tidak bisa dipungkiri bahwa persoalan permodalan menjadi salah satu persoalan yang menjangkiti hampir semua UKM.

Persoalan permodalan ini semakin rumit, layaknya benang yang telah kusut, ketika pihak bank mengajukan berbagai persyaratan yang dalam banyak hal mempersulit UKM untuk memperoleh kredit permodalan. Syarat bankable seakan menjadi syarat yang menyandung UKM untuk mengembangkan usahanya. Belum lagi berbagai problem administrasi yang menyiutkan nyali UKM untuk meraih kredit permodalan. Sementara kondisi pelaku UKM sendiri dalam segi tingkat pendidikan rentan untuk terperdayai terkait dengan persoalan pinjam-meminjam modal di bank. Itulah sebabnya, dalam sebuah kasus di sebuah sentra industri di Kota Malang, pelaku UKM ini seakan “elergi” bila berhubungan dengan pihak bank.

Sementara itu, berita bahwa penyerapan bantuan modal oleh UKM di Jawa Timur baru 31 persen (Kompas, 16 Februari 2006) tentu harus dicermati dengan seksama. Rendahnya penyerapan bantuan modal oleh UKM tersebut harus bisa diurai penyebabnya. Artinya, harus diketahui problem apa yang menjadikan rendahnya penyerapan bantuan modal tersebut. Dan itu tidak bisa dilihat dari satu sudut pandang semata, misalkan hanya dilihat dari sudut bank selaku pemberi modal. Hal ini harus dilakukan karena bisa saja rendahnya penyerapan tersebut karena adanya barrier yang menjadikan pihak UKM kesulitan untuk memperoleh bantuan modal tersebut. Untuk itu sekali lagi, persoalan tersebut harus dilihat dalam bingkai yang holistik dan tidak parsial.

Hal lain yang juga menjadi persoalan di tingkatan UKM adalah menyangkut pembinaan. Bila menengok kasus bahan pengawet yang menggemparkan semua lapisan masyarakat, dan tentunya pelaku UKM, dimana kasus tersebut telah memukul pelaku UKM yang bergerak di sektor makanan, maka bisa dilihat bahwa telah terjadi kelemahan dalam pembinaan di tingkat pelaku UKM oleh pihak-pihak yang berwenang. Kasus bahan pengawet dan penggunaan bahan-bahan kimia lain oleh pelaku UKM menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terkait bagaimana pembinaan UKM harus menjadi agenda yang tidak boleh terbengkalai apalagi diabaikan. Dalam banyak alasan UKM menjadi pilihan realistis bagi banyak masyarakat yang kurang memiliki modal dan tingkat pendidikan yang rendah. Dari kondisi yang ada ini maka pembinaan menjadi kunci penting dalam upaya merajut UKM yang profesional dan berkualitas. Dengan demikian kasus ketidaktahuan dampak pemakaian formalin, boraks, serta bahan-bahan kimia lainnya yang bisa membahayakan para konsumen, dan tentunya juga akan berdampak pada UKM sendiri, bisa dieliminir.  Tidak sekedar pembinaan pada wilayah produksi, persoalan manajemen pun harus menjadi wilayah yang juga diperhatikan. Hal ini terkait dengan paradigma UKM sebagai tradisi, dimana paradigma tersebut menjadikan pengelolaan UKM seringkali terkesan asal-asalan. Tidak sedikit dijumpai sebuah UKM tidak mengetahui arus keuangan mereka, yang itu membuat mereka tidak mengetahui berapa keuntungan yang mereka peroleh dan sejauhmana mereka harus mengembangkan usaha mereka. Demikian pula dengan penerapan teknologinya. Harus ada transfer teknologi yang itu bisa menyokong pengembangan UKM yang berkualitas dan kompetitif.

Persoalan lain yang selama ini juga sering menghimpit UKM adalah lemahnya jaringan pemasaran yang dipunyai oleh UKM. Bila melihat dari segi produk, sebenarnya UKM mempunyai produk yang cukup berkualitas dan kompetitif. Namun pihak UKM seringkali tidak tahu kemana dan bagaimana produk tersebut harus di pasarkan. Sementara pihak pemerintah terkadang berdiam diri terhadap persoalan tersebut. Padahal akses pasar merupakan salah satu pintu gerbang eksistensi UKM, dimana dengan adanya pasar maka keberlangsungan “hidup” mereka bisa dipertahankan. Adanya pasar yang bisa dimasuki UKM akan dapat berimbas pada produktivitas UKM yang kemudian dapat menumbuhkan kreativitas UKM dalam mengembangkan sebuah produk.

Jawa Timur sendiri merupakan salah satu propinsi yang mempunyai UKM-UKM yang cukup potensial. Kondisi ini bisa dilihat dengan banyaknya sentra-sentra UKM yang telah berkembang di berbagai daerah di Jawa Timur. Dan adanya rencana Jawa Timur menjadi pilot project pengembangan UKM oleh Kementerian Koperasi dan UKM telah mengukuhkan Jawa Timur sebagai propinsi yang peduli dalam pengembangan UKM.. Untuk itu perlu diperhatikan konsep yang akan dikembangkan dalam upaya kontuinitas pengembangan UKM-UKM di Jawa Timur. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah upaya memecahkan persoalan-persoalan yang diderita secara akut oleh UKM-UKM. Saluran-saluran komunikasi dalam menangani persoalan yang dihadapi oleh UKM harus dibuka dengan selebar-lebarnya. Demikian dengan akses ekonomi, yang selama ini akses hulu sampai hilir begitu dikuasai oleh pengusaha besar, juga harus dibuka seluas-luasnya. Kebijakan-kebijakan pemerintah pun harus lebih bisa mendorong kondisi yang kondusif untuk pengembangan UKM. Penataan kelembagaan ekonomi UKM pun mau tidak mau harus menjadi agenda utama dalam upaya untuk menata pengembangan UKM yang sistematis.
Sebagai salah satu propinsi yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia, Jawa Timur pun menjadi propinsi yang memiliki angka pengangguran yang cukup tinggi. Sehingga dengan realitas tersebut maka tidak dapat dipungkiri bila tumbuh dan berkembangnya UKM setidaknya dapat dijadikan solusi cerdas untuk mengurangi angka pengangguran, dan bukannya bertumpu pada penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Oleh karena itu, potensi yang dimiliki oleh UKM harus bisa menjawab tantangan tersebut. Sehingga apa yang didengung-dengungkan selama ini, yaitu UKM sebagai basis ekonomi rakyat dan soko guru pembangunan ekonomi, benar-benar terwujud, utamanya di Jawa Timur. Semoga!  

Tidak ada komentar: