Tiger Woods dan Hancurnya Sebuah Merek


Nama lengkapnya Eldrick Tont Woods sedangkan nama tenarnya Tiger Woods. Siapa yang tidak kenal dengan nama mentereng ini, apalagi para penggila olah raga golf. Tiger Woods adalah “macan” di olah raga golf. Berbagai rekor olah raga golf telah ia raih dalam usia yang cukup muda. Hingga tidak heran bila ia disejajarkan dengan beberapa nama legenda golf, termasuk diantaranya Jack Nicklaus. Yang menjadikannya semakin istimewa tentu saja karena dia adalah pegolf yang berkulit hitam. Seperti halnya dengan Lewis Hamilton di olah raga “jet darat” F1 yang menerobos dominasi pebalap kulit putih maka Tiger Woods telah melakukannya di golf.

Pameran Buku


Diantara hiruk-pikuk aktifitas manusia yang berdesing bak gasing maka adanya pameran buku layaknya oase di gurun pasir yang gersang. Pameran buku menawarkan sebuah tamasya intelektual yang meng-adem-kan pikiran. Kita diajak untuk mengunjungi stan-stan dengan berbagai tajuk buku. Memindai satu persatu stan dan bahkan meneliti setiap judul buku untuk memastikan buku yang kita minati. Diskon dihamburkan sebagai pembeda antara pameran buku dan toko buku. Sejenak kita dilupakan adanya lapisan-lapisan sosial semu yang ada dalam masyarakat. Semua membaur dalam peserta ziarah buku, laksana peserta ziarah wali sanga. Batas-batas sosial runtuh oleh The Lost Symbol-nya Dan Brown, Harry Potter-nya J.K. Rowling, Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, Pertengkaran-nya Gogol hingga Lentera Al-Qur’an-nya Quraish Shihab. Semua berdesakan, bersentuhan, berebutan satu sama lain untuk satu buku, dua buku, tiga buku atau bahkan untuk banyak buku. Mereka menanggalkan status sosial, latar belakang pendidikan, latar belakang agama, kendaraan yang mereka pakai, merek sepatu yang mereka pakai, parfum, baju, apapun yang menempel dalam diri mereka. Dalam momen ini hanya buku yang menjadi status sosial mereka. Pamer judul buku yang mereka beli menjadi sebuah ritual dalam setiap pameran buku untuk mempertontonkan status sosial mereka. Buku telah menjadi komodifikasi yang memberikan sumbangan dalam lanskap masyarakat yang beradab menyaingi Hermes, Cristian Dior, Armani, Adidas, Nike, Blackberry, Apple, Ipod.

Pram


Diantara sekian banyak sastrawan yang pernah dipunyai Indonesia sosok Pramoedya Ananta Toer merupakan figur yang layak disebut terdepan. Pram, begitu panggilan akrab Pramoedya, adalah seorang sastrawan kaliber Nobel. Lewat novel tetralogi Burunya Pram disebut-sebut pada saat itu sebagai kandidat kuat peraih Nobel Sastra dari Asia. Meskipun hingga akhir hayatnya tidak jua memegang penghargaan bergengsi itu karya-karya Pram tetap menjadi karya fenomenal yang layak diapresiasi. Karya-karya Pram, utamanya Tetralogi Buru, telah banyak memberikan inspirasi bagi kelompok muda di Indonesia. Bagi beberapa kalangan aktivis karya Pram seakan menjadi sebuah buku wajib.

Kerbau dan SBY


SBY gerah dengan demo yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat yang kecewa dengan kinerja SBY beserta jajarannya. Demonstrasi tersebut merupakan bagian dari kegiatan menandai 100 hari pemerintahan SBY-Budiono. Kegerahan presiden dipicu oleh digunakannya kerbau sebagai simbol sosok SBY. Hal itu bisa dilihat dari penempelan foto SBY yang dilekatkan pada tubuh kerbau yang diajak demo oleh para demonstran. Tidak hanya itu, tubuh kerbau pun juga diberi tulisan “Si BuaYa” sebagai penyamaran inisial SBY. Para demonstran ini menyimbolkan kerbau sebagai binatang yang malas dan lambat. Identifikasi atas diri kerbau itulah yang kemudian dialamatkan oleh para demonstran dengan menyematkan foto SBY di tubuh kerbau. Bagi para demonstran kelambatan dan kemalasan dijadikan sebagai biang atas kegagalan pemerintahan SBY dalam 100 hari kerja.
Perilaku para demonstran dengan menjadikan kerbau sebagai perwujudan kinerja SBY tentu saja “memerahkan” mata SBY, tidak hanya telinga saja yang merah. Para pendemo dianggap SBY tidak memiliki etika. Para pendemo menurut SBY telah mengabaikan nilai-nilai kepantasan dan tidak mencerminkan budaya Indonesia.
Aksi pendemo dan juga reaksi SBY atas aksi pendemo merupakan perwujudan manusia sebagai animal simbolicum. Interaksi antar manusia dalam suatu masyarakat pada dasarnya ditopang oleh simbol-simbol. Simbol sendiri diartikan sebagai segala sesuatu (benda, peristiwa, kelakuan, tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempati suatu arti tertentu menurut kebudayaannya. Interpretasi atas makna suatu simbol oleh individu ataupun masyarakat memiliki keragaman tersendiri. Factor internal serta eksternal menjadi hal yang sedikit banyak berperan atas interpratasi atas sebuah simbol.
Dalam sejarah kehidupan manusia, baik sebagai bagian dari suatu bangsa ataupun sebagai umat beragama, perilaku manusia “dikendalikan” oleh simbol-simbol. Kita bisa melihat betapa berbagai suku bangsa di muka bumi ini memiliki simbol-simbol tersendiri dalam kehidupan mereka. Simbol ibu jari di beberapa wilayah memiliki arti yang baik dan di beberapa wilayah lain memiliki arti yang sebaliknya. Di dalam agama Islam pun kita juga melihat begitu banyak aktivitas-aktivitas simbolik yang menyertai dalam kegiatan ibadah haji. Salah satu dari kegiatan simbolis tersebut adalah ritual jumrah, yaitu kegiatan melempar batu kea rah sebuha tugu yang dianggap sebagai tempat setan. Ritual jumrah ini bila dikaji lebih mendalam tentu tidak sekedar kegiatan melempar batu semata. Banyak lagi contoh-contoh lain yang bisa dijadikan contoh betapa kehidupan sehari-hari manusia penuh dengan warna simbolik. Bahkan yang lebih ekstrem, seringkali fanatisme atas pemaknaan simbol bisa menjadi pemantik munculnya peperangan. Sejarah telah membuktikan itu. Perang salib, perang dunia, genoside, hingga yang “remeh-temeh” yakni perang antar supporter adalah wujud fanatisme manusia atas sebuah simbol.
Interpretasi atas makna suatu simbol akan terus mengalami dinamika pemaknaan seiring dengan perkembangan peradaban manusia sebagai pemakna dan pencipta atas simbol. Kecanggihan pemaknaan atas suatu simbol merupakan pondasi bagi kebudayaan manusia karena simbol merupakan penyokong eksistensi suatu budaya.

ACFTA MERONTOKKAN UMKM JATIM (?)


                              Tidak ada manfaatnya mengeluhkan atau berharap perekonomian global akan hilang. 
Orang akan dipaksa belajar hidup dengannya.
(Kenichi Ohmae, The Next Global Stage, 2005)

Diberlakukannya ASEAN China Free Trade Agreement (ACTA) mulai tahun 2010 ini benar-benar telah meresahkan para pelaku usaha di Indonesia, baik pelaku usaha besar maupun yang berskala kecil dan menengah. Keresahan tersebut tentu sangat beralasan mengingat perjanjian ini melibatkan China sebagai negara peserta ACTA. China harus diakui saat ini merupakan negara yang dalam dekade belakangan mengalami pertumbuhan ekonomi cukup pesat. Tingkat ekspansi China pun juga sangat tinggi. Hal tersebut dapat ditilik dari posisi China sebagai negara eksportir terbesar di dunia saat ini dengan nilai perdagangan luar negerinya mencapai US$1,2 trilyun. Tidak hanya itu, China bahkan juga menjadi negara yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Anatomi inilah yang kemudian membawa China sebagai negara yang memiliki peran strategis dalam percaturan politik dan ekonomi dunia. Cukup beralasan jika kemudian para pelaku usaha, terutama pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), mengkhawatirkan dampak ACFTA terhadap eksistensi usaha mereka. Dengan dalih tersebutlah kemudian mereka meminta pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA.
Keresahan terhadap diberlakukannya pada kenyataannya juga melanda para pelaku UMKM di Jawa Timur. Apalagi beberapa sektor yang berpotensi berdampak negatif dengan adanya ACFTA tersebut merupakan sektor-sektor yang menjadi unggulan dan sekaligus penopang perekonomian Jawa Timur, baik itu sektor perkebunan dan pertanian, tekstil, maupun alas kaki. Sektor-sektor tersebut telah menjadi penggerak keberlangsungan UMKM-UMKM di Jawa Timur. Sehingga kalkulasinya adalah bahwa diandaikan UMKM-UMKM tersebut mampu menyerap ribuan tenaga kerja maka berapa banyak tingkat pengangguran yang akan tersaji jika UMKM-UMKM tersebut tidak mampu bertahan dalam persaingan yang ketat dengan negara-negara ASEAN dan China. Kerontokan usaha pun seakan telah terbayang di depan mata para pelaku UMKM di Jawa Timur. Dan ujung-ujungnya tentu saja adalah dampaknya terhadap struktur perekonomian Jawa Timur.
Namun apakah sedemikian kontra produktifkah pelaksanaan ACFTA bagi Indonesia, dalam hal ini Jawa Timur? Tentu di balik sisi kekhawatiran diberlakukannya ACFTA tetap ada hal-hal positif sekaligus produktif bagi keberadaan UMKM Jawa Timur. ACFTA meskipun memiliki potensi untuk merontokkan UMKM di Jawa Timur akan tetapi sebenarnya juga berpotensi untuk meningkatkan daya saing UMKM di Jawa Timur. Pemberlakuan ACFTA bisa menjadi media pendorong berkembangnya UMKM-UMKM di Jawa Timur yang berkelas internasional.
ACFTA merupakan media kompetisi yang mestinya mengandung nilai-nilai produktiftas bagi para pesertanya. Bisa dikatakan, dengan adanya ACFTA UMKM-UMKM di Jawa Timur dapat mengukur kekuatan daya saing yang sebenarnya. Pesaing-pesaing usaha tidak lagi berasal dari satu kawasan kabupaten, propinsi, ataupun nasional lagi akan tetapi akan banyak berdatangan pesaing-pesaing dari negara-negara ASEAN dan terutama dari China yang memang terkenal dengan tingkat penetrasi pasarnya. Apalagi dengan adanya ACFTA ini negara-negara ASEAN dan China dimudahkan untuk masuk, bahkan bebas hambatan. Keberadaan pesaing-pesaing dari negara peserta ACFTA ini harus bisa dijadikan sebuah alat analisis untuk bisa menjadikan UMKM di Jawa Timur mampu menandingi mereka. Ibarat sebuah klub sepak bola maka keberadaan pemain-pemain asing dengan kualitas yang lebih baik dari pemain lokal harus dijadikan benchmark bagi pemain lokal. Keberadaan pemain asing harus bisa menjadi pemacu pemain lokal untuk bisa bermain lebih baik sehingga tetap terpilih dalam starting up, tidak kalah dengan pemain asing. Sebuah klub sepak bola juga tidak akan tahu seberapa baik kualitas permainannya jika lawan-lawan yang dihadapi kelasnya ada dibawahnya. Dari metafor tersebut maka dapat diambil benang merah bahwa ACFTA dapat dijadikan instrumen bagi UMKM untuk meningkatkan kualitas daya saingnya.
Tentu saja untuk bisa menjadikan ACFTA sebagai medium untuk peningkatan kualitas daya saing bukan hal yang gampang dan sekejap dapat dicapai. Banyak persoalan yang harus dibereskan agar upaya tersebut dapat terlaksana. Pemerintah dan pelaku UMKM memiliki peran yang sentral untuk membereskan permasalahan tersebut sebelum mengajak masyarakat sebagai konsumen ikut berpartisipasi.
Pada tataran pemerintah maka kebijakan terhadap UMKM dapat dijadikan tolak ukur peran pemerintah dalam mendorong keberlangsungan UMKM yang lebih kompetitif. Sayangnya tidak sedikit kebijakan pemerintah yang teraplikasi melalui program-program kegiatan hanya bersifat tentatif dan karikatif. Selama ini program pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing UMKM terkesan kurang serius.. Banyak program pemerintah untuk UMKM yang tidak didesain secara komprehensif dan berkesinambungan. Sehingga kesannya program yang dijalankan hanya sekedar untuk memenuhi target program kerja serta hanya “bagi-bagi” uang. Sementara dari sisi birokrasi, rumitnya birokrasi perijinan pun pada akhirnya membawa dampak ekonomi biaya tinggi bagi para pelaku UMKM. Adanya ekonomi biaya tinggi sebagai akibat adanya inefisiensi birokrasi menjadikan UMKM berjalan dengan tidak efisien. Dukungan-dukungan kebijakan yang mendukung upaya aktifitas UMKM pun dianggap kurang memadai. Tidak ada celah yang memadai bagi pelaku-pelaku UMKM untuk bisa menerobos akses-akses kebijakan yang memang memiliki kecenderungan lebih senang mengurusi usaha-usaha dalam skala besar. Beberapa permasalahan inilah yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk mendorong UMKM yang lebih produktif dan kompetitif. Yang juga perlu ditekankan pada pemerintah terkait dengan kebijakan terhadap UMKM adalah bahwa kebijakan yang diciptakan tentunya adalah kebijakan yang sifatnya bukan lagi hanya meninabobokkan pelaku UMKM lewat program karikatifnya. Kebijakan yang diciptakan harus lebih bersifat stimulatif namun tetap intensif agar UMKM bisa lebih produktif dan kompetitif tanpa harus selalu dilindungi oleh pemerintah.
Terkait dengan hal tersebut Pemprov Jawa Timur juga harus bisa menstimulasi munculnya industri-industri kreatif yang memang memiliki peluang besar untuk bisa lebih dikembangkan di Jawa Timur. Sebagaimana diketahui bahwa industri kreatif dewasa ini telah memiliki peran penting dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju. Tingkat persaingan industri kreatif memang cukup sengit, apalagi bila dihadapkan dengan para pemain dari Negeri Tirai Bambu ini. Akan tetapi dengan banyaknya perguruan tinggi yang bertebaran di Jawa Timur potensi pelaku UMKM Jawa Timur untuk bisa bersaing dalam industri kreatif relatif masih sangat terbuka. Lebih lanjut, pemerintah kabupaten/kota di Jawa Timur dituntut juga untuk bisa lebih mendorong tumbuhnya produk-produk unggulan di daerahnya masing-masing yang berbasis pada UMKM.
Sementara pada tataran para pelaku UMKM di Jawa Timur dituntut untuk berbenah diri dalam menghadapi ACFTA ini. Permasalahan-permasalahan klasik yang selama ini mendera mereka harus segera dicarikan solusinya. Salah satu permasalahan klasik yang selama ini menjadi titik pangkal ketidakmampuan UMKM dalam berkompetisi adalah persoalan daya inovasi. Inovasi tidak melulu persoalan inovasi produk akan tetapi yang lebih penting, sebelum mencapai ke sana, adalah inovasi tata kelola usaha. Meskipun UMKM-UMKM di Jawa Timur sebagian besar berbasis industri rumah tangga (home industry) bukan berarti mereka harus abai terhadap aspek-aspek manajemennya. Sebab pra syarat untuk mencapai daya saing yang tinggi dilihat dari aspek manajemen maka sebagaimana diuraikan oleh Michael Porter elemen kepemimpinan biaya dan diferensiasi organisasi harus bisa dicapai. Mereka harus mengejar ketertinggalan tersebut. Selain dengan cara belajar sendiri, yang juga bisa difasilitasi oleh pemerintah, pelaku UMKM ini sebenarnya justru dapat pula melakukan pembelajaran melalui para pesaing-pesaing dari negara lain yang akan banyak berdatangan dengan pemberlakukan ACFTA ini.
Diberlakukannya ACFTA seharusnya tidak lagi menjadi keresahan para pelaku UMKM di Jawa Timur. ACFTA adalah konsekuensi logis dari sebuah era keterbukaan yang terbukungkus dalam fenomena globalisasi. Sebagaimana dikatakan Kenichi Ohmae diatas, tidak ada manfaatnya mengeluhkan atau berharap perekonomian global akan hilang. Orang akan dipaksa belajar hidup dengannya. Justru dengan diberlakukannya ACFTA dapat dijadikan sebagi titik awal, baik oleh Pemprov Jawa Timur mapun pelaku UMKM, untuk bisa menjadikan UMKM Jawa Timur yang berdaya saing global. Pelaku UMKM pun dituntut untuk mampu dan berani melakukan perdagangan antar negara peserta ACFTA. Fasilitas-fasilitas kemudahan yang diberikan dalam ACFTA pun harus bisa dioptimalkan oleh para pelaku UMKM di Jawa Timur. Pemberlakuan ACFTA bukanlah setahun ataupun dua tahun saja akan tetapi seterusnya. Artinya dalam perjalanannya pasti akan ada sebuah proses transfer pengetahuan ataupun adaptasi pengetahuan diantara para pelaku UMKM di dalam media persaingan. Pemerintah harus bisa menjadi pemandu yang baik bagi para pelaku UMKM dalam proses tersebut. Adanya kerjasama antara Pemprov Jawa Timur dengan pelaku UMKM tentu menjadi kunci utama keberhasilan mencapai proses adaptasi persaingan global tersebut. Kalau sudah begitu kita harus membuang jauh-jauh pemikiran ACFTA akan merontokkan UMKM di Jawa Timur.