Inovasi dan Loyalitas Merek

www.sxc.hu

Perkembangan teknologi informasi dalam satu dekade belakang ini benar-benar luar biasa. Bisa jadi tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh siapapun bahwa perkembangan teknologi informasi akan berkembang secepat saat ini. Bahkan kecepatannya perkembangannya, meminjam istilah kecepatan pesawat terbang, seolah melebihi kecepatan suara. Internet, komputer, maupun handphone adalah salah satu derivasi teknologi informasi yang perkembangannya mengalami percepatan yang sangat pesat. Konsep daya saing berbasis pada continuous improvement telah berjalan dengan sangat ekseleratif. Hal tersebut menunjukkan bahwa inovasi mampu diterapkan secara optimal. Dampak dari dinamisnya inovasi dalam teknologi tersebut menjadikan produk-produk tersebut daur hidupnya berjalan dengan sangat cepat dan singkat. Hampir dapat dipastikan bahwa setiap beberapa bulan sekali, dan bahkan tiap satu bulan, bermunculan inovasi-inovasi baru dalam produk-produk teknologi informasi tersebut. Pada perkembangannya inovasi-inovasi tersebut berpotensi “mengancam” konsep loyalitas merek pada konsumen.

Mbah Maridjan dan Kekuatan Mereknya

Mbah Maridjan telah gugur dalam tugas mengemban amanah sebagai juru kunci (kuncen) Gunung Merapi. Mbah Maridjan ditemukan meninggal dalam posisi bersujud di salah satu ruang di rumahnya dalam peristiwa meletusnya Gunung Merapi pada tanggal 26 Oktober 2010 lalu. Seperti halnya pada letusan Merapi pada tahun 2006 lalu, Mbah Maridjan menolak untuk turun gunung meski kali ini Mbah Maridjan harus menjadi salah satu korban keganasan wedus gembel. Pro dan kontra mengiringi kepergian Mbah Maridjan terkait dengan sikapnya yang keras kepala untuk tetap berdiam di rumahnya meski pihak PVMBG telah menetapkan Merapi dalam status awas. Pihak yang pro menganggap sikap Mbah Maridjan tersebut sebagi wujud kesetiaan pada amanah. Di sisi lain, pihak yang kontra mengganggap sikap Mbah Maridjan untuk bersikeras tinggal merupakan sikap konyol. Tetapi itulah Mbah Maridjan, seorang abdi dalem Keraton Yogyakarta yang memaknai amanah sebagai tanggung jawab yang harus dijalankan meski nyawa menjadi “tumbalnya.”

Lebaran dan Perlindungan Konsumen

Lemahnya keawasan masyarakat sebagai konsumen dalam memilih produk yang akan mereka beli tidak jarang dimanfaatkan oleh produsen untuk berlaku curang. Banyak cara yang ditempuh para produsen untuk bisa mengambil kesempatan dalam kesempitan tersebut. Mulai dari tidak segera ditariknya produk-produk yang cacat maupun yang sudah mulai kadaluarsa hingga tidak memberikan informasi komposisi bahan produknya. Tentu kesemuanya dipraktekkan para produsen dalam rangka menangguk keuntungan yang berlimpah. Dan celakanya perilaku tersebut dipraktekkan dengan mengabaikan hak konsumen yang dalam hal-hal tertentu bahkan hingga membahayakan keselamatan konsumen. Realitas yang seringkali terjadi ini membersitkan sebuah kondisi bahwa hubungan antara produsen dengan konsumen selama ini memang tidak berjalan secara simetris. Selalu saja konsumen menjadi pihak yang tercederai hak-haknya sementara produsen tetap melenggang kangkung dengan keuntungan yang diraihnya. Pada titik ini adigium konsumen adalah raja hanya menjadi lipservice semata bagi produsen untuk mengelabui konsumen. Sebaliknya, produsen justru menjadi layaknya raja yang tidak terbantahkan titahnya (baca tindakannya) dan konsumen menjadi abdi raja yang tidak bisa berbuat apa-apa. Keluhan-keluhan konsumen pun kemudian hanya dianggap angin lalu. Atau kalau tidak begitu, produsen balik menyalahkan konsumen yang dianggapnya tidak awas terhadap produk yang mereka beli.


UKM sebagai Basis Ekonomi Rakyat


UKM Kerajinan Kelapa
Usaha kecil menengah (UKM) dalam lanskap pembangunan ekonomi di Indonesia kerap disebut-sebut sebagai soko gurunya pembangunan ekonomi. Pemahaman ini dilandaskan pada basis UKM sendiri yang memang seringkali bersifat padat karya dan telah menjadi aktivitas yang mengakar di kalangan masyarakat. Singkatnya, UKM merupakan basis aktivitas ekonomi masyarakat, utamanya di kalangan menengah ke bawah.

Keberadaan UKM sebagai basis ekonomi masyarakat tentunya tidak lepas dari sifat dasar UKM sendiri yang tidak memerlukan modal besar dan tingkat pendidikan yang memadai. Cukup dengan modal dan ketrampilan secukupnya, dan ditambah keberanian maka masyarakat sudah bisa menjalankan dan mengelola UKM. Tidak heran bila kemudian UKM cenderung merupakan usaha yang berbasis industri rumah tangga dengan skala usaha yag tidak besar. UKM sendiri pun cenderung telah menjadi sebuah usaha yang berjalan secara turun-temurun dan menjadi sebuah tradisi. Hal inilah yang menjadikan UKM dalam beberapa hal menjadi sebuah aktivitas ekonomi yang “tahan banting”. Para pelaku UKM dengan segala upaya mempertahankan kegiatan usahanya yang bisa jadi dikarenakan sebagai upaya untuk mempertahankan tradisi keluarga yang telah turun-temurun tersebut, walau dengan menanggung kerugian finansial yang tidak kecil jumlahnya. UKM kemudian telah menjadi urat nadi sebuah eksistensi keluarga dalam relasi sosial. Dan kenyataan bahwa UKM menjadi kegiatan yang konsisten dan tahan banting dapat ditelusuri ketika negara ini mengalami krisis ekonomi yang begitu hebat pada tahun 1997.

Redenominasi dan Uang Gambar Pedang

Di saat masyarakat ramai membicarakan wacana redenominasi saya jadi teringat cerita seorang teman. Teman saya ini adalah seorang lulusan Magister Manajemen yang memutuskan untuk meneruskan usaha almarhum bapaknya sebagai petani tebu. Lahan yang dia sewa untuk menanam tebu mencapai 20 hektar. Sementara pekerja yang membantunya dalam mengelola bisnis tebu ini sekitar 10 orang, bisa bertambah banyak kalau tiba musim panen. Kalau musim panen tiba maka setiap hari dia harus ke kebun untuk mengawasi proses panen tebu tersebut. Menurutnya saat ini susah sekali mencari pekerja untuk panen tebu. Kalau pun ada tidak sedikit dari mereka ini memiliki potensi untuk berbuat curang, misalnya mengambil dan mengumpulkan beberap batang tebu. Oleh karena itu harus tetap diawasi.