Tampilkan postingan dengan label Coretan Ringan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Coretan Ringan. Tampilkan semua postingan

Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Manajemen

Ing Ngarso sung Tulodho, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani
Ki Hajar Dewantara

Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889 dengan nama Raden Mas Soewardi Soerjaningrat. Dari nama lahirnya jelas terlihat bahwa didalam diri beliau mengalir darah biru, yaitu keturunan dari keraton. Keraton sendiri selalu identik dengan kefeodalan. Namun bukan berarti Ki Hajar Dewantara ikut larut dalam kefeodalan tersebut. Justru kemudian Ki Hajar mampu keluar dari kefeodalan dan mengabdikan hidupnya untuk bangsanya dengan pemikiran-pemikiran yang terbuka dan progresif. Perjuangan Ki Hajar Dewantara untuk bangsa ini tentu tidak bisa diragukan lagi. Berbagai organisasi beliau ikuti dan beliau bentuk dalam upaya meraih kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Budi Utomo menjadi salah satu organisasi yang beliau ikuti untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan bangsa. Kemudian bersama seorang Indonesianis asal Belanda, Douwes Dekker serta seorang dokter terkemuka, Cipto Mangoenkoesoemo, mendirikan Indische Partij (Partai Hindia), yang juga bergerak untuk memerdekan Indonesia. Indische Partij sendiri merupakan partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia. Tulisannya pada tahun 1913 di surat kabar de Express dengan judul yang sarkas, " Als ik eens Nederlander was " (Seandainya Aku Seorang Belanda), meneguhkan beliau sebagai sosok garda depan dalam menentang penjajahan Belanda di Indonesia.

Arti Sebuah Nama

Ungkapan apa arti sebuah nama yang disampaikan dramawan kondang yang hidup di jaman Renaissans yakni William Shakespeare mungkin bagi dunia bisnis sudah tidak relevan lagi. Bagi dunia bisnis nama adalah yang sangat penting untuk menunjang kelangsungan bisnisnya. Begitu pentingnya arti sebuah nama baru-baru ini perusahaan raksasa elektronik dari Jepang, Sony Corp. , sampai harus melayangkan somasi kepada seorang blogger Indonesia bernama Sony Arianto Kurniawan gara-gara sang blogger menggunakan domain yang menggunakan nama “Sony” pada situs pribadinya. Situs milik sang blogger yang disomasi perusahaan Sony itu beralamat www.sony-ak.com . Menurut perusahaan Sony penggunaan nam “Sony” oleh sang blogger dianggap telah menyalahi aturan atas Hak Kekayaan Intelektual (HaKI). Perusahaan Sony sebagai sebuah perusahaan yang berkepentingan atas nama tersebut menganggap pemakaian nama “Sony” pada situs sang blogger berpotensi memberikan kerugian, baik materiil maupun non materiil. Penggunaan nama “Sony” pun menurut perusahaan Sony secara hukum telah menjadi haknya sehingga penggunaan nama “Sony” untuk sebuah produk tertentu di luar perusahaan Sony adalah sebuah pelanggaran.


Tukang Kunci

Urusan kunci meski sepele namun sebenarnya ribet juga kalau kita kesandung persoalan rusaknya benda kecil ini. Lewat kunci kita bisa masuk ke ruangan yang kita tuju ataupun lewat kunci kita bisa menyalakan kendaraan kita. Dan lewat kunci pulalah kita bisa mengamanahkan kerahasiaan maupun keamanan kita. Keamanan rumah, sepeda motor, sepeda angin, mobil, brankas, hingga kerahasiaan sebuah buku harian diserahkan sepenuhnya lewat kunci. Sangat wajar jika bentuk dan struktur kunci pun beraneka ragam sebagai salah satu upaya untuk menjalankan amanahnya. Mulai bentuk badan kunci secara keseluruhan hingga lekuk-lekuk yang membentuk tubuh kunci masing-masing memiliki kekhasan dan keunikan sendiri-sendiri.


Tiger Woods dan Hancurnya Sebuah Merek


Nama lengkapnya Eldrick Tont Woods sedangkan nama tenarnya Tiger Woods. Siapa yang tidak kenal dengan nama mentereng ini, apalagi para penggila olah raga golf. Tiger Woods adalah “macan” di olah raga golf. Berbagai rekor olah raga golf telah ia raih dalam usia yang cukup muda. Hingga tidak heran bila ia disejajarkan dengan beberapa nama legenda golf, termasuk diantaranya Jack Nicklaus. Yang menjadikannya semakin istimewa tentu saja karena dia adalah pegolf yang berkulit hitam. Seperti halnya dengan Lewis Hamilton di olah raga “jet darat” F1 yang menerobos dominasi pebalap kulit putih maka Tiger Woods telah melakukannya di golf.

Pameran Buku


Diantara hiruk-pikuk aktifitas manusia yang berdesing bak gasing maka adanya pameran buku layaknya oase di gurun pasir yang gersang. Pameran buku menawarkan sebuah tamasya intelektual yang meng-adem-kan pikiran. Kita diajak untuk mengunjungi stan-stan dengan berbagai tajuk buku. Memindai satu persatu stan dan bahkan meneliti setiap judul buku untuk memastikan buku yang kita minati. Diskon dihamburkan sebagai pembeda antara pameran buku dan toko buku. Sejenak kita dilupakan adanya lapisan-lapisan sosial semu yang ada dalam masyarakat. Semua membaur dalam peserta ziarah buku, laksana peserta ziarah wali sanga. Batas-batas sosial runtuh oleh The Lost Symbol-nya Dan Brown, Harry Potter-nya J.K. Rowling, Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata, Pertengkaran-nya Gogol hingga Lentera Al-Qur’an-nya Quraish Shihab. Semua berdesakan, bersentuhan, berebutan satu sama lain untuk satu buku, dua buku, tiga buku atau bahkan untuk banyak buku. Mereka menanggalkan status sosial, latar belakang pendidikan, latar belakang agama, kendaraan yang mereka pakai, merek sepatu yang mereka pakai, parfum, baju, apapun yang menempel dalam diri mereka. Dalam momen ini hanya buku yang menjadi status sosial mereka. Pamer judul buku yang mereka beli menjadi sebuah ritual dalam setiap pameran buku untuk mempertontonkan status sosial mereka. Buku telah menjadi komodifikasi yang memberikan sumbangan dalam lanskap masyarakat yang beradab menyaingi Hermes, Cristian Dior, Armani, Adidas, Nike, Blackberry, Apple, Ipod.

Pram


Diantara sekian banyak sastrawan yang pernah dipunyai Indonesia sosok Pramoedya Ananta Toer merupakan figur yang layak disebut terdepan. Pram, begitu panggilan akrab Pramoedya, adalah seorang sastrawan kaliber Nobel. Lewat novel tetralogi Burunya Pram disebut-sebut pada saat itu sebagai kandidat kuat peraih Nobel Sastra dari Asia. Meskipun hingga akhir hayatnya tidak jua memegang penghargaan bergengsi itu karya-karya Pram tetap menjadi karya fenomenal yang layak diapresiasi. Karya-karya Pram, utamanya Tetralogi Buru, telah banyak memberikan inspirasi bagi kelompok muda di Indonesia. Bagi beberapa kalangan aktivis karya Pram seakan menjadi sebuah buku wajib.

Kerbau dan SBY


SBY gerah dengan demo yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat yang kecewa dengan kinerja SBY beserta jajarannya. Demonstrasi tersebut merupakan bagian dari kegiatan menandai 100 hari pemerintahan SBY-Budiono. Kegerahan presiden dipicu oleh digunakannya kerbau sebagai simbol sosok SBY. Hal itu bisa dilihat dari penempelan foto SBY yang dilekatkan pada tubuh kerbau yang diajak demo oleh para demonstran. Tidak hanya itu, tubuh kerbau pun juga diberi tulisan “Si BuaYa” sebagai penyamaran inisial SBY. Para demonstran ini menyimbolkan kerbau sebagai binatang yang malas dan lambat. Identifikasi atas diri kerbau itulah yang kemudian dialamatkan oleh para demonstran dengan menyematkan foto SBY di tubuh kerbau. Bagi para demonstran kelambatan dan kemalasan dijadikan sebagai biang atas kegagalan pemerintahan SBY dalam 100 hari kerja.
Perilaku para demonstran dengan menjadikan kerbau sebagai perwujudan kinerja SBY tentu saja “memerahkan” mata SBY, tidak hanya telinga saja yang merah. Para pendemo dianggap SBY tidak memiliki etika. Para pendemo menurut SBY telah mengabaikan nilai-nilai kepantasan dan tidak mencerminkan budaya Indonesia.
Aksi pendemo dan juga reaksi SBY atas aksi pendemo merupakan perwujudan manusia sebagai animal simbolicum. Interaksi antar manusia dalam suatu masyarakat pada dasarnya ditopang oleh simbol-simbol. Simbol sendiri diartikan sebagai segala sesuatu (benda, peristiwa, kelakuan, tindakan manusia, ucapan) yang telah ditempati suatu arti tertentu menurut kebudayaannya. Interpretasi atas makna suatu simbol oleh individu ataupun masyarakat memiliki keragaman tersendiri. Factor internal serta eksternal menjadi hal yang sedikit banyak berperan atas interpratasi atas sebuah simbol.
Dalam sejarah kehidupan manusia, baik sebagai bagian dari suatu bangsa ataupun sebagai umat beragama, perilaku manusia “dikendalikan” oleh simbol-simbol. Kita bisa melihat betapa berbagai suku bangsa di muka bumi ini memiliki simbol-simbol tersendiri dalam kehidupan mereka. Simbol ibu jari di beberapa wilayah memiliki arti yang baik dan di beberapa wilayah lain memiliki arti yang sebaliknya. Di dalam agama Islam pun kita juga melihat begitu banyak aktivitas-aktivitas simbolik yang menyertai dalam kegiatan ibadah haji. Salah satu dari kegiatan simbolis tersebut adalah ritual jumrah, yaitu kegiatan melempar batu kea rah sebuha tugu yang dianggap sebagai tempat setan. Ritual jumrah ini bila dikaji lebih mendalam tentu tidak sekedar kegiatan melempar batu semata. Banyak lagi contoh-contoh lain yang bisa dijadikan contoh betapa kehidupan sehari-hari manusia penuh dengan warna simbolik. Bahkan yang lebih ekstrem, seringkali fanatisme atas pemaknaan simbol bisa menjadi pemantik munculnya peperangan. Sejarah telah membuktikan itu. Perang salib, perang dunia, genoside, hingga yang “remeh-temeh” yakni perang antar supporter adalah wujud fanatisme manusia atas sebuah simbol.
Interpretasi atas makna suatu simbol akan terus mengalami dinamika pemaknaan seiring dengan perkembangan peradaban manusia sebagai pemakna dan pencipta atas simbol. Kecanggihan pemaknaan atas suatu simbol merupakan pondasi bagi kebudayaan manusia karena simbol merupakan penyokong eksistensi suatu budaya.

ACFTA MERONTOKKAN UMKM JATIM (?)


                              Tidak ada manfaatnya mengeluhkan atau berharap perekonomian global akan hilang. 
Orang akan dipaksa belajar hidup dengannya.
(Kenichi Ohmae, The Next Global Stage, 2005)

Diberlakukannya ASEAN China Free Trade Agreement (ACTA) mulai tahun 2010 ini benar-benar telah meresahkan para pelaku usaha di Indonesia, baik pelaku usaha besar maupun yang berskala kecil dan menengah. Keresahan tersebut tentu sangat beralasan mengingat perjanjian ini melibatkan China sebagai negara peserta ACTA. China harus diakui saat ini merupakan negara yang dalam dekade belakangan mengalami pertumbuhan ekonomi cukup pesat. Tingkat ekspansi China pun juga sangat tinggi. Hal tersebut dapat ditilik dari posisi China sebagai negara eksportir terbesar di dunia saat ini dengan nilai perdagangan luar negerinya mencapai US$1,2 trilyun. Tidak hanya itu, China bahkan juga menjadi negara yang memiliki cadangan devisa terbesar di dunia. Anatomi inilah yang kemudian membawa China sebagai negara yang memiliki peran strategis dalam percaturan politik dan ekonomi dunia. Cukup beralasan jika kemudian para pelaku usaha, terutama pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM), mengkhawatirkan dampak ACFTA terhadap eksistensi usaha mereka. Dengan dalih tersebutlah kemudian mereka meminta pemerintah menunda pelaksanaan ACFTA.
Keresahan terhadap diberlakukannya pada kenyataannya juga melanda para pelaku UMKM di Jawa Timur. Apalagi beberapa sektor yang berpotensi berdampak negatif dengan adanya ACFTA tersebut merupakan sektor-sektor yang menjadi unggulan dan sekaligus penopang perekonomian Jawa Timur, baik itu sektor perkebunan dan pertanian, tekstil, maupun alas kaki. Sektor-sektor tersebut telah menjadi penggerak keberlangsungan UMKM-UMKM di Jawa Timur. Sehingga kalkulasinya adalah bahwa diandaikan UMKM-UMKM tersebut mampu menyerap ribuan tenaga kerja maka berapa banyak tingkat pengangguran yang akan tersaji jika UMKM-UMKM tersebut tidak mampu bertahan dalam persaingan yang ketat dengan negara-negara ASEAN dan China. Kerontokan usaha pun seakan telah terbayang di depan mata para pelaku UMKM di Jawa Timur. Dan ujung-ujungnya tentu saja adalah dampaknya terhadap struktur perekonomian Jawa Timur.
Namun apakah sedemikian kontra produktifkah pelaksanaan ACFTA bagi Indonesia, dalam hal ini Jawa Timur? Tentu di balik sisi kekhawatiran diberlakukannya ACFTA tetap ada hal-hal positif sekaligus produktif bagi keberadaan UMKM Jawa Timur. ACFTA meskipun memiliki potensi untuk merontokkan UMKM di Jawa Timur akan tetapi sebenarnya juga berpotensi untuk meningkatkan daya saing UMKM di Jawa Timur. Pemberlakuan ACFTA bisa menjadi media pendorong berkembangnya UMKM-UMKM di Jawa Timur yang berkelas internasional.
ACFTA merupakan media kompetisi yang mestinya mengandung nilai-nilai produktiftas bagi para pesertanya. Bisa dikatakan, dengan adanya ACFTA UMKM-UMKM di Jawa Timur dapat mengukur kekuatan daya saing yang sebenarnya. Pesaing-pesaing usaha tidak lagi berasal dari satu kawasan kabupaten, propinsi, ataupun nasional lagi akan tetapi akan banyak berdatangan pesaing-pesaing dari negara-negara ASEAN dan terutama dari China yang memang terkenal dengan tingkat penetrasi pasarnya. Apalagi dengan adanya ACFTA ini negara-negara ASEAN dan China dimudahkan untuk masuk, bahkan bebas hambatan. Keberadaan pesaing-pesaing dari negara peserta ACFTA ini harus bisa dijadikan sebuah alat analisis untuk bisa menjadikan UMKM di Jawa Timur mampu menandingi mereka. Ibarat sebuah klub sepak bola maka keberadaan pemain-pemain asing dengan kualitas yang lebih baik dari pemain lokal harus dijadikan benchmark bagi pemain lokal. Keberadaan pemain asing harus bisa menjadi pemacu pemain lokal untuk bisa bermain lebih baik sehingga tetap terpilih dalam starting up, tidak kalah dengan pemain asing. Sebuah klub sepak bola juga tidak akan tahu seberapa baik kualitas permainannya jika lawan-lawan yang dihadapi kelasnya ada dibawahnya. Dari metafor tersebut maka dapat diambil benang merah bahwa ACFTA dapat dijadikan instrumen bagi UMKM untuk meningkatkan kualitas daya saingnya.
Tentu saja untuk bisa menjadikan ACFTA sebagai medium untuk peningkatan kualitas daya saing bukan hal yang gampang dan sekejap dapat dicapai. Banyak persoalan yang harus dibereskan agar upaya tersebut dapat terlaksana. Pemerintah dan pelaku UMKM memiliki peran yang sentral untuk membereskan permasalahan tersebut sebelum mengajak masyarakat sebagai konsumen ikut berpartisipasi.
Pada tataran pemerintah maka kebijakan terhadap UMKM dapat dijadikan tolak ukur peran pemerintah dalam mendorong keberlangsungan UMKM yang lebih kompetitif. Sayangnya tidak sedikit kebijakan pemerintah yang teraplikasi melalui program-program kegiatan hanya bersifat tentatif dan karikatif. Selama ini program pemerintah dalam upaya meningkatkan daya saing UMKM terkesan kurang serius.. Banyak program pemerintah untuk UMKM yang tidak didesain secara komprehensif dan berkesinambungan. Sehingga kesannya program yang dijalankan hanya sekedar untuk memenuhi target program kerja serta hanya “bagi-bagi” uang. Sementara dari sisi birokrasi, rumitnya birokrasi perijinan pun pada akhirnya membawa dampak ekonomi biaya tinggi bagi para pelaku UMKM. Adanya ekonomi biaya tinggi sebagai akibat adanya inefisiensi birokrasi menjadikan UMKM berjalan dengan tidak efisien. Dukungan-dukungan kebijakan yang mendukung upaya aktifitas UMKM pun dianggap kurang memadai. Tidak ada celah yang memadai bagi pelaku-pelaku UMKM untuk bisa menerobos akses-akses kebijakan yang memang memiliki kecenderungan lebih senang mengurusi usaha-usaha dalam skala besar. Beberapa permasalahan inilah yang harus diselesaikan oleh pemerintah untuk mendorong UMKM yang lebih produktif dan kompetitif. Yang juga perlu ditekankan pada pemerintah terkait dengan kebijakan terhadap UMKM adalah bahwa kebijakan yang diciptakan tentunya adalah kebijakan yang sifatnya bukan lagi hanya meninabobokkan pelaku UMKM lewat program karikatifnya. Kebijakan yang diciptakan harus lebih bersifat stimulatif namun tetap intensif agar UMKM bisa lebih produktif dan kompetitif tanpa harus selalu dilindungi oleh pemerintah.
Terkait dengan hal tersebut Pemprov Jawa Timur juga harus bisa menstimulasi munculnya industri-industri kreatif yang memang memiliki peluang besar untuk bisa lebih dikembangkan di Jawa Timur. Sebagaimana diketahui bahwa industri kreatif dewasa ini telah memiliki peran penting dalam menyumbang pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju. Tingkat persaingan industri kreatif memang cukup sengit, apalagi bila dihadapkan dengan para pemain dari Negeri Tirai Bambu ini. Akan tetapi dengan banyaknya perguruan tinggi yang bertebaran di Jawa Timur potensi pelaku UMKM Jawa Timur untuk bisa bersaing dalam industri kreatif relatif masih sangat terbuka. Lebih lanjut, pemerintah kabupaten/kota di Jawa Timur dituntut juga untuk bisa lebih mendorong tumbuhnya produk-produk unggulan di daerahnya masing-masing yang berbasis pada UMKM.
Sementara pada tataran para pelaku UMKM di Jawa Timur dituntut untuk berbenah diri dalam menghadapi ACFTA ini. Permasalahan-permasalahan klasik yang selama ini mendera mereka harus segera dicarikan solusinya. Salah satu permasalahan klasik yang selama ini menjadi titik pangkal ketidakmampuan UMKM dalam berkompetisi adalah persoalan daya inovasi. Inovasi tidak melulu persoalan inovasi produk akan tetapi yang lebih penting, sebelum mencapai ke sana, adalah inovasi tata kelola usaha. Meskipun UMKM-UMKM di Jawa Timur sebagian besar berbasis industri rumah tangga (home industry) bukan berarti mereka harus abai terhadap aspek-aspek manajemennya. Sebab pra syarat untuk mencapai daya saing yang tinggi dilihat dari aspek manajemen maka sebagaimana diuraikan oleh Michael Porter elemen kepemimpinan biaya dan diferensiasi organisasi harus bisa dicapai. Mereka harus mengejar ketertinggalan tersebut. Selain dengan cara belajar sendiri, yang juga bisa difasilitasi oleh pemerintah, pelaku UMKM ini sebenarnya justru dapat pula melakukan pembelajaran melalui para pesaing-pesaing dari negara lain yang akan banyak berdatangan dengan pemberlakukan ACFTA ini.
Diberlakukannya ACFTA seharusnya tidak lagi menjadi keresahan para pelaku UMKM di Jawa Timur. ACFTA adalah konsekuensi logis dari sebuah era keterbukaan yang terbukungkus dalam fenomena globalisasi. Sebagaimana dikatakan Kenichi Ohmae diatas, tidak ada manfaatnya mengeluhkan atau berharap perekonomian global akan hilang. Orang akan dipaksa belajar hidup dengannya. Justru dengan diberlakukannya ACFTA dapat dijadikan sebagi titik awal, baik oleh Pemprov Jawa Timur mapun pelaku UMKM, untuk bisa menjadikan UMKM Jawa Timur yang berdaya saing global. Pelaku UMKM pun dituntut untuk mampu dan berani melakukan perdagangan antar negara peserta ACFTA. Fasilitas-fasilitas kemudahan yang diberikan dalam ACFTA pun harus bisa dioptimalkan oleh para pelaku UMKM di Jawa Timur. Pemberlakuan ACFTA bukanlah setahun ataupun dua tahun saja akan tetapi seterusnya. Artinya dalam perjalanannya pasti akan ada sebuah proses transfer pengetahuan ataupun adaptasi pengetahuan diantara para pelaku UMKM di dalam media persaingan. Pemerintah harus bisa menjadi pemandu yang baik bagi para pelaku UMKM dalam proses tersebut. Adanya kerjasama antara Pemprov Jawa Timur dengan pelaku UMKM tentu menjadi kunci utama keberhasilan mencapai proses adaptasi persaingan global tersebut. Kalau sudah begitu kita harus membuang jauh-jauh pemikiran ACFTA akan merontokkan UMKM di Jawa Timur.

Agus dan Hiperrealitas Iklan


Akhir-akhir ini nama Agus begitu terkenal dan bahkan bisa jadi menjadi inspirasi. Hal itu tidak lepas dari iklan salah satu operator telepon seluler. Simaklah perbincangan dalam iklan tersebut:
"Hallo!" teriak seseorang di sebuah wilayah Indonesia.
"Siapa nak cakap ini?" tanya seorang wanita yang berkantor di menara kembar Petronas, simbol bangunan negeri jiran.
"Agus..oaalaah Agus…Aguss!"jawab orang tersebut yang ternyata bernama Agus
Di akhir iklan, diperlihatkan telpon di dalam ruang oval, sebuah ruang di dalam Gedung Putih, berdering yang juga diakibatkan oleh ulah si Agus.
Iklan tersebut ingin menunjukkan bahwa operator telepon selulat tersebut menawarkan harga/pulsa yang murah bagi penggunanya yang ingin menelepon ke luar negeri. Keisengan Agus untuk menelepon semua pihak di berbagai belahan Negara, bahkan hingga menelepon seorang presiden Negara adidaya, yang ditunjukkan dengan adanya simbol-simbol bangunan Negara lain yang sangat dikenal masyarakat internasional, merupakan pesan bahwa operator tersebut benar-benar memiliki keistimewaan dalam layanan telepon ke luar negeri.
Pada sisi lain, iklan tersebut juga telah melambungkan nama Agus, yang bahkan melebihi nama Susilo, Bambang, Yudhoyono, Tukul, Luna Maya, dan nama-nama yang lain di republic ini. Tak pelak, akibat iklan itu siapapun yang bernama Agus dalam beberapa waktu ini bisa jadi akan jadi "olokan" kolega-koleganya, tetangganya, saudaranya, dan bahkan mungkin anak-anaknya. Dan kebetulan tetangga saya ada dua orang yang bernama Agus, dan mereka pun tidak luput dari "olok-olok" iklan Agus tersebut. Ooalah Agus..Agus.
Yang lebih menggelikan lagi adalah ketenaran iklan Agus tersebut telah menginspirasi seorang caleg di wilayah Malang, yang kebetulan juga bernama Agus, untuk menggunakan model iklan calegnya dengan model iklan yang sama. Sepanjang menuju perumahan jalan-jalan penuh dengan wajah Agus si caleg dengan tulisan di bawah wajahnya: Ooalah Agus..Agus. Klop sudah.
Saya yakin jika pembuat iklan caleg Pak Agus tersebut bukanlah dari pakar periklanan yang beken. Tim sukses caleg ini, saya yakin lagi, tentu saja menerapkan ATM (Amati, Tiru, Modifikasi) atas ketenaran iklan operator telepon selular tersebut dalam menciptakan iklan politik untuk Pak Agus ini. Dengan mendompleng ketenaran Agus tersebut tentunya tim sukses Caleg Pak Agus juga berharap akan juga dikenal oleh konstituennya. Awareness tentang nama Agus dianggap telah muncul di kalangan masyarakat dengan adanya iklan operator telepon selular tersebut. Hingga tim sukses Caleg Pak Agus tersebut beranggapan dengan memodifikasi iklan telepon selular tersebut dengan "kearifan local" maka iklan politik yang mereka buat akan berkelas televisi (nasional) namun membumi di tingkatan lokal. Mungkin begitulah kira-kira yang ada di otak tim sukses Pak Agus "Caleg" ini.
Iklan merupakan salah satu ujung tombak bagi produk yang dari waktu ke waktu makin penting keberadaannya. Penetrasi pasar akan menjadi lebih efektif dilakukan bila dibantu oleh adanya iklan. Melesatnya peran teknologi dan informasi, utamanya ditandai dengan berkembangnya teknologi televisi, semakin memudahkan iklan dalam melakukan penetrasi. Iklan tidak lagi hanya bermuatan pesan-pesan produk, akan tetapi telah bermuatan berbagai simbol ataupun kode. Berbagai simbol dan kode tersebut disisipkan ke dalam iklan dalam upaya lebih menghidupkan nilai iklan itu sendiri. Kesadaran-kesadaran palsu disematkan dalam iklan agar konsumen bisa terbuai oleh agitasi iklan. Iklan telah menjadi simulacra yang membuncah dalam pola pikir konsumen. Kesemuan nilai produk telah dianggap sebagai realitas dengan adanya teknologi informasi yang mampu mensimulasikan kesemuan tersebut. Realitas kesemuan kemudian menjadi realitas yang melebihi realitas itu sendiri. Dalam kasus iklan Agus tersebut tentu saja susah dilogikakan bagaimana bisa seorang Agus dengan mudahnya menerobos benteng pertahanan Gedung Putih hingga dia bisa menghubungi Tuan Bush. Adegan tersebut tentu saja merupakan sebuah simbol semata sebagai pintu masuk untuk menyampaikan pesan betapa operator telepon selular tersebut mampu memberikan pelayanan telepon antar Negara dengan murah dan mudah, semudah menelepon Tuan Bush di Negeri Paman Sam. Iklan di era teknologi ini memang selalu identik dengan rekayasa-rekayasa realitas. Rekayasa-rekayasa itulah yang justru dinikmati oleh pemirsa sekaligus sebagai konsumen meski mereka tak harus membeli produk dengan iklan rekayasa tersebut. Media massa sebagai media iklan pun memberikan ruang yang selebar-selebarnya untuk "pertunjukan" rekayasa realitas tersebut. Maka, sebagaimana diungkapkan Umberto Eco, selamat bertamasya di dunia hiperrealitas!

Koperasi, Soko Guru Ekonomi


Keberadaan koperasi di Indonesia telah diakui dalam UUD 1945, yaitu dalam pasal 33 ayat 1, dimana disebutkan bahwa ”Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Dan tidak hanya diakui keberadaannya bahkan koperasi telah dijadikan sebagai model ideal susunan perekonomian di Indonesia. Koperasi selama ini juga dianggap sebagai representasi ekonomi kerakyatan. Akan tetapi pada kenyataannya perkembangan koperasi di Indonesia mengalami pasang surut. Dimana peran-peran koperasi sebagai salah satu penggerak ekonomi seakan selalu diabaikan. Posisi dan peran koperasi selalu dikalahkan oleh BUMN maupun usaha-usaha besar yang digerakkan oleh para konglomerat. Lebih lanjut koperasi selalu diidentikkan dengan ekonomi marjinal maupun sektor yang tidak profesional. Pergerakan koperasi seakan lari ditempat dan tidak pernah mampu untuk bersaing dengan pelaku-pelaku ekonomi yang lain.
Pada sisi lain harus diakui bahwa koperasi merupakan sektor yang mampu menjadi katup pengaman ketika perekonomian Indonesia mengalami keterpurukan. Elastisitas koperasi dalam menghadapi perubahan perekonomian menjadi faktor kunci daya survival koperasi. Daya survival inilah yang kemudian membawa koperasi sebagai sektor yang berperan dalam menggerakkan ekonomi ketika krisis ekonomi melanda Indonesia. Sehingga meskipun dikatakan bahwa koperasi hanya memiliki skala usaha yang kecil tetap saja peran koperasi dalam perekonomian di Indonesia tidak bisa diabaikan. Dan terbukti pertumbuhan koperasi dari tahun ke tahun terlihat menunjukkan kenaikan.
Jawa Timur sendiri merupakan salah satu propinsi yang paling banyak memiliki koperasi. Dimana data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa pada tahun 2005 jumlah koperasi di Jawa Timur menempati urutan kedua, setelah Jawa Barat, yaitu sejumlah 17.175 unit dengan jumlah yang aktif mencapai 12.282 unit. Sementara data dari Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Jawa Timur menunjukkan bahwa hingga tahun 2006 jumlah koperasi di Jawa Timur telah mencapai 17.537 unit dengan jumlah koperasi yang aktif sebesar 12.691 unit. Anggota koperasinya sendiri telah mencapai 4.822.040 orang. Sedangkan dari permodalannya jumlah modal yang berasal dari koperasi sendiri senilai Rp 3,7 trilyun dan yang berasal dari luar senilai Rp 4,7 trilyun (Kompas, 13 Maret 2007). Data dari Kementerian Koperasi dan UKM juga menunjukkan bahwa dari tahun 2004 hingga tahun 2005, penyerapan tenaga kerja koperasi di Jawa Timur mengalami kenaikan sebesar 15,94 persen, yaitu dari 44.387 orang pada tahun 2004 menjadi 51.462 orang pada tahun 2005. Dari data yang tersaji mengindikasikan betapa koperasi menjadi potensi yang berharga bagi Jawa Timur. Data-data tersebut juga menginformasikan bahwa perkembangan koperasi di Jawa Timur tidak bisa diremehkan. Artinya, dengan perkembangan koperasi yang cukup positif di Jawa Timur maka bisa diartikan bahwa koperasi memiliki peranan yang cukup signifikan dalam menopang perekonomian di Jawa Timur.
Dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi dan persaingan global juga menjamah pada wilayah lokal maka tidak mengherankan bila perusahaan-perusahaan besar utamanya lebih memilih lulusan-lulusan perguruan tinggi dibandingkan lulusan SLTA apalagi SLTP dalam memperkuat SDM-nya. Lain halnya dengan koperasi, dimana koperasi seringkali lebih fleksibel dalam melihat tingkat pendidikan sebagai dasar penguatan SDM. Koperasi bergerak layaknya usaha kecil menengah, dimana dalam menjalankan usahanya lebih mengandalkan pada pola kekeluargaan dan kepercayaan. Sehingga koperasi sendiri pun lebih banyak digerakkan dengan sumber daya manusia dengan tingkat pendidikan yang terbatas. Tidak mengherankan bila koperasi, seperti halnya UMKM, berpotensi menjadi kantong-kantong penyerapan pengangguran, dalam hal ini di Jawa Timur. Bagaimana tidak, data Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur pada tahun 2005 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran di Jawa Timur didominasi oleh kalangan yang berpendidikan SLTA, yaitu sebesar 638.639. Sementara untuk kalangan berpendidikan tingkat sarjana “hanya” sebesar 77.050. Data ini juga bisa dijadikan indikasi awal bahwa kalangan berpendidikan SLTA telah kalah bersaing dalam dunia kerja dengan kalangan yang berpendidikan sarjana atau akademi. Sehingga jelas bahwa dengan didominasi oleh pengangguran berpendidikan SLTA maka koperasi di Jawa Timur harus mampu menjadi alternatif dunia kerja yang bisa mendorong roda perekonomian di Jawa Timur. Apalagi saat ini biaya pendidikan semakin mahal dan diyakini banyak kalangan masyarakat yang tidak mampu membiayai anak-anaknya untuk masuk ke perguruan tinggi. Dan ujung-ujungnya angkatan kerja akan didominasi oleh lulusan SLTA.
Untuk menjadikan koperasi sebagai alternatif dunia kerja yang strategis tentu diperlukan koperasi yang berkualitas. Artinya, koperasi harus bisa mereformasi dirinya menjadi koperasi yang bukan sekedar berdiri semata. Akan tetapi koperasi tersebut harus bisa mendobrak hambatan-hambatan ataupun permasalahan-permasalahan yang selama ini selalu menjadi benalu dalam perkembangan koperasi. Persoalan kelembagaan koperasi, baik itu persoalan permodalan, kepengurusan maupun persoalan keanggotaan merupakan salah satu persoalan yang menjadi perhatian utama dalam upaya mereformasi koperasi yang berdaya guna. Selain itu, koperasi sudah seharusnya meninggalkan pola ketergantungannya pada pemerintah. Kebutuhan koperasi saat ini bukan lagi bantun-bantuan program dengan dana yang melimpah yang seringkali justru terbuang sia-sia. Perhatian “berlebih” yang selama ini diberikan pemerintah kepada koperasi bisa dikatakan ikut menjadikan koperasi terlena dengan kondisi yang ada. Koperasi saat ini justru lebih membutuhkan kebijakan yang mendukung ruang gerak koperasi itu sendiri dalam upaya mendorong dan meningkatkan kemandirian, profesionalitas dan juga daya saingnya.
Kemandirian koperasi pada gilirannya menjadi sebuah keharusan untuk mewujudkan peran koperasi sebagai soko guru ekonomi. Pengelolaan koperasi yang bertumpu pada kemandirian anggota menjadi akan menjadi pondasi bagi upaya memberdayakan kembali ekonomi para anggotanya. Pada titik inilah koperasi diharapkan dapat berperan dalam menggerakkan ekonomi masyarakat serta daerah sekitarnya. Dan jika hal tersebut dapat dilaksanakan di setiap daerah maka bukan mustahil bila kemudian koperasi akan mampu menjadi penyangga ekonomi nasional melalalui aktivitas ekonomi di daerah-daerah.


dimuat di surabaya post (23/7/08)


Menyemai Daya Saing Pariwisata Kita

Pemerintah telah secara resmi meluncurkan program Visit Indonesia Year 2008 (VIY 2008). Program VIY 2008 ini diluncurkan juga dalam rangka memperingati 100 Tahun Hari Kebangkitan Nasional. Tentu saja banyak asa yang dipikulkan pada program ini terkait dengan kemajuan industri pariwisata di Indonesia. Dimana dengan peluncuran program VIY 2008 jelas pemerintah berharap keunggulan pariwisata Indonesia lebih kenal secara luas oleh masyarakat internasional. Bahkan lebih lanjut, tidak hanya dikenal saja akan tetapi Indonesia akan menjadi tujuan utama liburan bagi para wisatawan dari seluruh pelosok penjuru dunia. Wisataan lokal pun tidak ketinggalan menjadi sasaran program ini. Secara kuantitatif pemerintah sendiri telah menargetkan sebanyak tujuh juta wisatawan asing dan 200 juta wisatawan domestik akan mengunjungi tempat-tempat wisata di berbagai tempat di Indonesia pada tahu 2008. Pada sisi lain dengan adanya program VIY 2008 ini diharapkan berbagai citra negatif yang melekat pada Indonesia dapat secara perlahan mampu diperbaiki.
Berbagai upaya pun dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung suksesnya program VIY 2008. Untuk mendukung program VIY 2008 tersebut pemerintah telah menganggarkan dana promosi sebesar Rp 150 miliar. Angka tersebut meningkat sebesar Rp 50 miliar dibandingkan pada tahun 2007 yang hanya Rp 100 miliar. Situs pariwisata pun telah dibangun dengan dana yang cukup fantastis, yaitu mencapai Rp 17,5 miliar. Berbagai pihak juga telah digandeng untuk memperlancar VIY 2008, mulai dari maskapi penerbangan, pengelola hotel, biro-biro perjalanan, dan pihak-pihak lain yang terkait. Dari situ terlihat keseriusan pemerintah dalam upaya menyukseskan program VIY 2008. Namun demikian tetap saja menyisakan satu pertanyaan yang menggelitik, mampukah pariwisata Indonesia bersaing dengan Negara lain?
Dalam beberapa tahun belakangan dapat dikatakan dunia pariwisata Indonesia tengah mengalami masa-masa kelam. Berbagai rentetan peristiwa buruk yang menerpa Indonesia secara langsung telah ikut menyumbat laju industri pariwisata. Peristiwa bom Bali I dan II dapat dikatakan menjadi puncak peristiwa yang menjadikan pariwisata Indonesia luluh lantak. Peristiwa tersebut juga menjadi titik pangkal Negara-negara lain memvonis Indonesia sebagai Negara sarang teroris dan rawan berbagai aksi terorisme. Dan tidak bisa ditawar lagi bahwa isu keamanan seringkali menjadi isu yang menjadi pertimbangan pertama wisatawan berkunjung pada suatu wilayah atau Negara. Sehingga tidak mengherankan apabila kemudian beberapa Negara menerapkan travel warning kepada warga negaranya yang akan berkunjung ke Indonesia. Tentu saja hal itu sangat merugikan dunia pariwisata Indonesia. Belum lagi adanya fenomena “pencurian” aset budaya oleh Negara tetangga dimana aset budaya tersebut telah menjadi salah ciri khas budaya Indonesia.
Namun demikian tidak berarti tidak ada secercah asa pada pariwisata kita. Negara Malaysia saja yang keanekaragaman budayanya masih kalah jauh dengan Indonesia mampu mendatangkan 15 juta wisatawan. Sehingga asumsinya Indonesia yang lebih kaya keanekaragama budaya dibandingkan negeri jiran tentu harusnya mampu mendatangkan lebih dari 15 juta wisatawan. Namun kenapa pada tahun 2007 pemerintah hanya menargetkan 6 juta wisatawan dan itupun menurut data BPS hingga Oktober 2007 hanya sebanyak 3,7 juta wisatawan yang berkunjung ke Indonesia. Tentu saja ada beberapa hal yang masih harus dibenahi agar potensi pariwisata kita mampu menjadi daya tarik wisatawan serta bisa bersaing dengan wisata Negara lain.
Industri pariwisata dapat dikategorikan sebagai industri jasa. Dimana industri pariwisata lebih menonjolkan pada sisi kepuasan secara psikologi (batin) para pelakunya, dalam hal ini wisatawan. Jasa sendiri terbagi atas lima karakteristik (Kotler, 2000). Pertama, Reliability, dimana karakteristik ini terkait dengan konsistensi dan kesesuaian pelayanan. Kedua, Responsiveness, karakteristik ini berhubungan dengan kemampua merespon secara cepat keluhan pelanggan. Ketiga, Assurance, yaitu kemampuan meyakinkan pelanggan serta memenuhi janji kepada pelangan. Keempat, Emphaty, yaitu terkait dengan kepedulian kepada pelanggan. Dan kelima, Tangible, yaitu karakteristik yang terkait dengan penampilan fisik, peralatan dan berbagai media komunikasi.
Kelima karakteristik jasa tersebut dapat dijadikan acuan pengukuran daya saing pariwisata kita terhadap pariwisata Negara lain. Artinya dengan menengok serta mencermati karakteristik jasa tersebut untuk kemudian membandingkannya dengan kondisi pariwisata kita saat ini maka dapat dilakukan analisis kelemahan-kelemahan yang membentang dalam industri pariwisata kita. Kelemahan-kelemahan itulah yang kemudian harus sesegera mungkin diperbaiki. Banyak hal yang masih harus diperbaiki dalam pariwisata kita bila bercermin pada karakteristik jasa. Sebagai contoh bila berbicara kaitannya dengan assurance. Tidak sedikit wisatawan, baik mancanegara maupun domestik yang kecele dengan program-program yang dijanjikan pihak biro perjalanan wisata. Apakah itu terkait dengan penginapan yang ternyata tidak layak huni, pelayanan yang mengecewakan, ataupun lokasi wisata yang tanpa dinyana tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Hal-hal semacam itu bisa jadi bagi pihak biro perjalanan merupakan hal yang remeh temeh namun sejatinya cukup krusial bagi pengguna jasa (wisatawan). Dan itulah esensi industri jasa, dimana kepuasan batin seringkali tidak bisa diukur dengan jumlah uang yang telah dikeluarkan.
Sekali lagi, masih banyak hal yang harus dibenahi untuk menyemai daya saing pariwisata kita. Program VIY 2008 yang telah dicanangkan oleh pemerintah bisa jadi adalah langkah awal serius pemerintah dalam membenahi indusri pariwisata Indonesia yang memang terlihat masih compang-camping. Lebih lanjut, perlu kiranya pemerintah berupaya secepat mungkin menambal lubang-lubang kelemahan dalam pengelolaan industri pariwisata Indonesia. Dengan adanya perbaikan yang nyata diharapkan pariwisata kita mampu bersaing dengan Negara-negara lain di dunia. Wisatawan-wisatawan asing dapat dengan nyaman dan aman menikmati Indonesia. Yang tidak kalah pentingnya, pariwisata kita bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Sehingga dengan demikian arus warga Negara kita yang berwisata ke luar negeri dapat diminimalisir dan sebaliknya mereka akan membanjiri tempat-tempat wisata di negeri sendiri.

*dimuat di Seputar Indonesia edisi 31 Desember 2007

PKL yang Selalu Tergusur


Pedagang kaki lima (PKL) menjadi korban penggusuran untuk kesekian kalinya. Sebanyak 300 lapak di kawasan Jalan Gembong, Jalan Kapasari, serta di Jalan Kalianyar Surabaya dirobohkan oleh Pemerintah Kota Surabaya (Kompas Jatim, 15/2). Alasan utama penggusuran PKL di kawasan tersebut adalah untuk memperlancar arus lalu lintas. Dimana PKL dianggap sebagai biang keladi kemacetan lalu lintas di kawasan tersebut. Pemkot Surabaya sendiri telah menawarkan relokasi PKL ke pasar tradisional meskipun usulan tersebut ditolak mentah-mentah oleh para pedagang. Dan apa mau dikata, penggusuran pun tetap menjadi tindakan mujarab untuk segera merealisasikan kehendak pemerintah. Protes para pedagang kemudian seakan menjadi angin belaka. PKL pun menjadi layaknya anak tiri dari sebuah pembangunan yang bisa jadi lebih memperhatikan pembangunan sektor formal (industri) semata.
Fenomena kemunculan PKL menjadi fenomena yang jamak terjadi di berbagai kota tidak hanya di Indonesia akan tetapi di banyak negara berkembang. Bagi pemerintah PKL seakan menjadi benalu yang menempel dalam setiap dinamika pembangunan kota. PKL bisa dikatakan merupakan konsekuensi logis terhadap ketimpangan pembangunan antara kota dan desa. Terlihat jelas bahwa para pedagang yang menjalankan aktifitas PKL didominasi oleh orang-orang dari luar kota. Para pedagang ini kebanyakan berasal dari wilayah-wilayah di sekitar kota yang melihat potensi ekonomi di kota dan pesimis terhadap perkembangan ekonomi di wilayahnya sendiri. Ketidakmerataan pembangunan antara desa dan kota inilah yang pada gilirannya menjadi pemantik urbanisasi yang begitu besar. Perkembangan ekonomi kota yang melesat jauh meninggalkan perkembangan ekonomi desa menjadi daya tarik orang-orang di pedesaan untuk mengadu untung di kota. Sementara stagnasi laju ekonomi desa yang ditandai dengan stagnannya sektor pertanian merupakan faktor lain yang menjadi daya dorong orang-orang di desa untuk mengais rejeki di kota. Mereka inilah yang kemudian karena tidak berbekal ketrampilan yang memadai menjadi orang-orang yang mendominasi para PKL di kota. Hal ini terjadi karena mereka memang tidak cukup ketrampilan untuk bersaing memperebutkan posisi pekerjaan di sektor formal. Tentu jalan satu-satunya agar mereka tetap bisa bertahan (survive) di kota adalah dengan bekerja di sektor informal, yang salah satunya adalah menjadi pedagang kaki lima.
Fenomena PKL sendiri tentunya tidak bisa dilihat dengan hanya menggunakan kacamata kuda. Fenomena PKL bukan semata fenomena ekonomi an sich akan tetapi juga merupakan fenomena yang menyentuh pada wilayah-wilayah sosial. Namun sayangnya yang terjadi kebanyakan pemerintah kota dalam menyikapi keberadaan PKL pendekatan yang digunakan lebih banyak memakai pendekatan yang bersifat praktis dan pragmatis bahkan cenderung represif. Dan kebijakan penggusuran selalu menjadi kebijakan yang jamak dilakukan oleh pemerintah-pemerintah kota sebagai wujud penolakan terhadap keikutsertaan PKL dalam gerbong pembangunan. Anehnya pemkot tidak jarang bersikap mendua dalam menyikapi keberadaan PKL. Pada satu sisi pemkot menolak keberadaan PKL karena dianggap menyalahi aturan tata wilayah namun pada sisi lain menarik retribusi terhadap para pedagang. Adanya penarikan retribusi, terlepas apakah itu hanya oknum aparat, memperlihatkan bahwa pemerintah ikut menikmati keberadaan PKL. Sementara yang diperlukan adalah kebijakan yang komprehensif dari pemerintah dalam menyikapi adanya PKL tersebut. Sebab bagaimanapun juga harus diakui bahwa sektor informal, dalam hal ini PKL, telah menyubsidi pemerintah dalam upaya mengurangi angka pengangguran. PKL telah mampu menjadi alternatif masyarakat dalam upaya memperoleh pekerjaan yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan lapangan pekerjaan yang memadai. PKL pun menjadi layaknya sekoci yang mampu mengurangi angka pengangguran dan bahkan bisa dikatakan keberadaan PKL mampu menjadi sekoci terhadap upaya mengurangi gejolak sosial di perkotaan sebagai konsekuensi adanya urbanisasi.
Menjamurnya PKL di perkotaan adalah keniscayaan yang tidak bisa dihindari oleh pemerintah kota. PKL merupakan fenomena permanen yang akan terus ada seiring dengan dinamika pembangunan kota. Pada sisi lain PKL juga menjadi gambaran adanya ketimpangan dalam pembangunan antara desa dan kota. Pembangunan hanya berjalan pada pusat-pusat pertumbuhan, yaitu perkotaan. Sementara wilayah-wilayah pinggiran (periphery regions) ataupun kawasan hinterland mengalami stagnasi pembangunan. Tidak mengherankan bila kemudian kota menjadi sandaran ekonomi bagi warga desa yang ingin memperbaiki ekonominya. Polarisasi pertumbuhan yang pada awalnya diharapkan menciptakan trickle down effect (efek rembesan ke bawah) justru yang nampak adalah apa yang disebut Gunnar Myrdal sebagai backwash effect, yaitu efek negatif dari pembangunan yang terpusat hanya pada kota. Dan memang benar apa yang diungkapkan oleh Walikota Surabaya Bambang DH bahwa permasalahan PKL di Surabaya bukan hanya permasalahan pemkot Surabaya akan tetapi juga permasalahan daerah-daerah lain yang selama ini warganya banyak berurbanisasi ke Surabaya. Artinya bahwa persoalan PKL di Surabaya harus juga dilihat dari perspektif pembangunan ekonomi di Jawa Timur secara menyeluruh. Timbulnya urbanisasi ke Surabaya yang notabene merupakan salah satu pemicu munculnya PKL-PKL di Surabaya bisa jadi disebabkan kurang berkembangnya pembangunan ekonomi di daerah asal para pedagang kaki lima. Hal ini juga merefleksikan adanya ketimpangan daya saing wilayah di Jawa Timur sehingga menyebabkan Surabaya menjadi pusat konsentrasi kegiatan ekonomi maupun sosial yang cukup dominan di Jawa Timur.
Namun demikian bukan berarti pihak Pemkot Surabaya bisa begitu saja cuci tangan terhadap persoalan PKL ini dan dengan begitu mudahnya melakukan penggusuran PKL. Bagaimanapun juga, di saat pemerintah telah gagal menyediakan lapangan kerja yang memadai bagi warganya maka PKL harus diapresiasi sebagai bentuk inovasi usaha warga untuk tetap bertahan hidup di tengah gejolak ekonomi yang bisa berpotensi menyulut gejolak sosial. Dalam menyelesaikan persoalan PKL ini Pemkot Surabaya tidak bisa lagi menerapkan konsep zero sum game akan tetapi harus lebih mengedepankan win-win solution.
Munculnya permasalahan yang disebabkan oleh keberadaan PKL di perkotaan, dalam hal ini Surabaya, tentu menjadi PR tidak hanya bagi Pemkot Surabaya akan tetapi juga PR bagi Pemprov Jawa Timur. Dalam hal ini Pemprov Jawa Timur harus mampu menstimulus daerah-daerah untuk memiliki keunggulan-keunggulan tersendiri. Dengan memiliki keunggulan maka diharapkan tercipta potensi-potensi ekonomi yang bisa dikembangkan di masing-masing daerah. Hal itulah yang kemudian bisa dijadikan tuas untuk menghidupkan roda perekonomian yang dinamis di seluruh wilayah di Jawa Timur. Semoga cerita penggusuran PKL akan segera tutup buku dengan adanya solusi yang komprehensif dan bukannya parsial serta pragmatis.